Investasi Penting Tumbuhkan Industri Substitusi Impor dan Orientasi Ekspor

Pemerintah sedang giat mendorong peningkatan investasi di Indonesia, baik dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA).

Upaya strategis ini berperan penting  untuk menumbuhkan industri substitusi impor dan berorientasi ekspor sehingga dapat menguatkan struktur perekonomian nasional saat ini.

“Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, salah satu program prioritasnya adalah menarik minat investasi asing. Hal ini dapat memberikan transfer teknologi ke perusahaan lokal, terutama dalam penerapan digitalisasi seiring dengan kesiapan kita memasuki era industri 4.0,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (5/3).

 

Oleh karena itu, menurut Menperin, pemerintah terus memfasilitasi kemitraan antara perusahaan global dengan pelaku industri lokal. “Melalui transfer teknologi, kami yakin akan terjadi peningkatan pengetahuan dan keahlian bagi tenaga kerja kita sehingga menjadi kompeten dan kompetitif. Selain itu dapat memperluas jaringan usaha termasuk untuk pasar ekspor,” sebutnya.

Lebih lanjut, peningkatan investasi khususnya di sektor industri manufaktur, selama ini konsisten membawa efek berantai yang luas bagi perekonomian seperti pengoptimalan pada nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari ekspor.

 

“Kami mencontohkan, di Morowali, yang sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadistainless steel. Kalau nickel ore dijual sekitar USD40-60, sedangkan ketika menjadi stainless steel harganya di atas USD2000. Selain itu, kita sudah mampu ekspor dari Morowali senilai USD4 miliar, baik itu hot rolled coilmaupun cold rolled coil ke Amerka Serikat dan China,” paparnya.

Baca juga  Menjawab Tantangan Tren Data 3D di Era Revolusi Industri 4.0, Datascrip Hadirkan Paracosm PX-80

Melalui kawasan industri Morowali, investasi pun terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar di tahun 2018. “Jumlah penyerapan tenaga kerja di sana terbilang sangat besar hingga 30 ribu orang,” imbuhnya.

Selain itu, Kementerian Perindustrian juga mendorong tumbuhnya industri hilirisasi batubara agar dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan substistusi impor seperti urea, Dimethyl Ether (DME), serta polypropylene. Langkah strategis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan pupuk, bahan bakar (substitusi impor LPG), dan plastik yang akan digunakan di dalam negeri hingga mengisi permintaan pasar ekspor.

“Sektor industri inilah yang sekarang diperlukan sesuai dengan arahan Bapak Presiden Joko Widodo, karena merupakan substitusi impor dan dapat memperkuat cadangan devisa kita,” ujar Menperin pada Pencanangan Industri Hilirisasi Batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hilirisasi batubara berperan penting memperkuat struktur industri dan mengoptimalkan perolehan nilai tambah. Upaya ini terkait dengan peningkatan daya saing sektor manufaktur dan penguatan kemandirian industri.

 

Airlangga menghitung, jika kebutuhan batubara di proyek Tanjung Enim sebanyak 9 juta ton per tahun dan harga komoditas USD30 per ton, usaha tanpa pengolahan itu baru menghasilkan USD270 juta. Namun, jika ada satu pabrik polipropilena berkapasitas 450.000 ton per tahun yang memanfaatkan produk hasil pengolahan batubara, dihasilkan produk turunan bernilai USD4,5 miliar.

Baca juga  Kementerian PUPR Dorong Peningkatan Peran Kontraktor Swasta Nasional Menengah dan Kecil Di Tengah Pandemi COVID-19

“Apalagi akan ada pabrik pupuk dan DME (dimetil eter). Itu minimal USD7 miliar devisa yang bisa dihemat. Jadi, ada nilai tambah,” ungkapnya. Pembangunan pabrik pengolahan gasifikasi batubara di mulut tambang Tanjung Ennim yang diperkirakan nilai investasinya mencapai USD1,2 miliar dan dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak 1.400 orang ini akan mulai beroperasi pada tahun 2022.

Guna mereplikasi ke wilayah lain atas capaian-capaian positif dari investasi manufaktur tersebut, pemerintah bertekad menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan dalam perizinan usaha. Langkah strategis yang telah dilakukan, antara lain pemberian insentif fiskal, penerapan online single submission (OSS), serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan vokasi.

 

Menperin memastikan, implementasi industri 4.0 di Indonesia tidak akan menggantikan penerapan industri era sebelumnya yang masih beroperasi. Artinya, indutri 4.0 berjalan harmonis dengan teknologi industri 1.0, 2.0, dan 3.0.

Misalnya, industri generasi pertama yang masih ada di Indonesia, di antaranya berada di sektor agrikultur atau pertanian. Kemudian, industri generasi kedua seperti sektor pembuatan rokok kretek tangan danindustri batik yang menggunakan canting, hingga saat ini masih tetap eksis.

“Terhadap sektor-sektor tersebut, pemerintah berkomitmen untuk memberikan proteksi, tidak ada investor asing yang masuk. Bahkan, kami terus mendorong pengembangannya agar mereka lebih produktif, inovatif,dan kompetitif,” tuturnya.

 

Di industri generasi ketiga, yang telah menggunakan mesin otomatis dengan melibatkan hubungan antara manusia dan mesin pun tidak akan ditinggalkan. “Saat ini, Indonesia sedang siap memasuki revolusi industri keempat, dengan pemanfaatan teknologi digital, yang diproyeksikan akan menjadi lompatan besar bagi semua sektor manufaktur,” tegas Airlangga.

Baca juga  Indeks Demokrasi Indonesia Meningkat: Makin Bermartabat dan Berkeadilan

Kemenperin mencatat, investasi di sektor industri manufaktur terus tumbuh signifikan. Pada tahun 2014,penanaman modal masuk sebesar Rp195,74 triliun, kemudian naik mencapai Rp222,3 triliun di 2018.Peningkatan investasi ini turut mendongkrak penyerapan tenaga kerja hingga 18,25 juta orang di 2018. Jumlah tersebut berkontribusi sebesar 14,72 persen terhadap total tenaga kerja nasional.

“Dari tahun 2015 ke 2018, terjadi kenaikan 17,4 persen dan ini diperkirakan bisa menambah lagi penyerapan tenaga kerjanya di tahun 2019 seiring adanya realisasi investasi,” ungkap Menperin.

 

Selanjutnya, selama empat tahun terakhir, ekspor dari industri pengolahan nonmigas terus meningkat. Pada 2015, nilai ekspor produk manufaktur mencapai USD108,6 miliar, naik menjadi USD110,5 miliar di tahun 2016. Pada 2017, ekspor nonmigas tercatat di angka USD125,1 miliar, melonjak hingga USD130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen.

“Jadi, tahun lalu kontribusi ekspor produk manufaktur mencapai 72,25 persen. Selama ini menjadi penyumbang terbesar. Di tahun 2019, kami akan lebih genjot lagi sektor industri manufaktur untuk meningkatkan ekspor, terutama yang punya kapasitas lebih,” ungkap Airlangga.