Lebih Dari Setengah Ahli Keamanan Siber Indonesia Merasa Kesulitan Menghadapi Serangan Siber

Trellix Perusahaan Keamanan Siber
Trellix Perusahaan Keamanan Siber

Seremonia.id – Trellix, sebuah perusahaan keamanan siber yang membawa masa depan dari extended detection and response (XDR) pada hari ini merilis hasil penelitian yang mengungkap dampak dari sistem keamanan yang terisolir, titik lemah dalam sebuah sistem keamanan, serta kurangnya kepercayaan diri di antara tim operasi keamanan (SecOps) di Indonesia. Dengan melakukan survei ke 500 ahli keamanan siber di Indonesia, penelitian ini juga memberikan pandangan terhadap masa depan keamanan siber serta teknologi yang siap merevolusi operasi keamanan. 93% dari responden menggambarkan bahwa model sistem keamanan yang mereka gunakan saat ini ‘terisolir’. Sehingga, tiga perempat (75%) dari responden besar kemungkinan akan mengalokasikan anggaran mereka untuk mengadopsi solusi yang lebih canggih, termasuk XDR, untuk memberikan pendekatan keamanan siber yang lebih terintegrasi.

Jonathan Tan, Managing Director, Asia, at Trellix mengatakan, “Dengan sederet insiden keamanan siber yang terjadi sepanjang tahun 2022, Indonesia saat ini berada pada posisi yang krusial. Untuk melawan serangan-serangan siber ini, data loss prevention harus menjadi salah satu prinsip utama dari setiap platform keamanan siber. Alih-alih mengadopsi lebih banyak produk keamanan yang berbeda, yang dibutuhkan organisasi di Indonesia adalah perubahan radikal dalam pendekatan mereka terhadap keamanan siber, menuju sistem bersifat menyeluruh dan cerdas yang dapat bekerja secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan mereka.

Baca juga  Infinix Siapkan 3 Jagoan di Awal Tahun

Melindungi Pendapatan Bersih. 86% responden memperkirakan organisasi mereka kehilangan pendapatan hingga 10% dari pelanggaran terhadap keamanan siber dalam 12 bulan terakhir. Bisnis-bisnis skala menengah (dengan pendapatan US$50 – US$100 juta) rata-rata kehilangan pendapatan sebesar 4%, sedangkan 2,5% untuk bisnis besar (dengan omset US$5 miliar – US$10 miliar), yang menunjukkan kerugian pendapatan antara US$125 juta dan US$250 juta (sekitar 1,8 triliun rupiah hingga 3,7 triliun rupiah). 

Peluang untuk Membangun Kepercayaan Diri Tim SecOps. Berbeda dengan 36% rata-rata global, hanya 28% ahli keamanan siber di Indonesia merasa ‘percaya diri’ dengan kemampuan organisasi mereka untuk beradaptasi secara cepat terhadap ancaman-ancaman siber baru, dengan 58% dari mereka mengakui bahwa ancaman siber berkembang sangat pesat sehingga membuat mereka kesulitan untuk mengimbanginya.

Baca juga  vivo Raih Posisi Top 2 di Pasar Smartphone Indonesia

Rata-rata organisasi tempat responden bekerja menghadapi 44 serangan siber setiap harinya, sementara lebih dari seperempat (27%) dari mereka mengakui bahwa setiap hari mereka harus menghadapi 50 hingga 200 serangan siber. Lebih dari sepertiga (38%) melaporkan bahwa “dibanjiri oleh serangan siber yang tidak pernah berakhir” menjadi salah satu penyebab utama yang membuat mereka frustasi dalam bekerja.

Solusi yang tidak saling terhubung menghambat pertumbuhan bisnis. 6 dari 10 ahli keamanan siber mengakui bahwa teknologi yang mereka gunakan saat ini tidak memungkinkan tim operasi keamanan untuk bekerja secara maksimal. Sepertiga (35%) dari responden menyadari bahwa saat ini sistem keamanan mereka memiliki beberapa titik lemah.

XDR: Sebuah Revolusi dalam Keamanan Siber. Seperempat (21%) dari ahli keamanan siber telah mengimplementasikan XDR dalam organisasi mereka, dengan 39% lainnya kemungkinan besar akan mengimplementasikannya dalam 18 bulan ke depan. Teknologi pendukung lainnya yang kemungkinan besar akan diimplementasikan adalah simulasi serangan (41%), Network Detection and Response (NDR) (40%), dan Endpoint Detection and Response (EDR) (40%).

Baca juga  Penjelasan Lion Air Group Mengenai Perkembangan Informasi Kecelakaan Pesawat di Manila

Sumber pendukung: 

Metodologi:

Studi berikut berdasar pada penelitian yang dilakukan oleh Coleman Parkes, mensurvei 9.000 pengambil keputusan pada industri keamanan siber dari organisasi dengan 500 karyawan atau lebih di lima belas pasar: Australia, Brasil, Kanada, Chili, Kolombia, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Meksiko, Singapura, Afrika Selatan, UEA, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Indonesia, 500 pengambil keputusan pada industri keamanan siber disurvei untuk penelitian ini.