Kumba Gelar Serial Webinar Dulu /Kini dan Nanti

JAKARTA, 8 Oktober 2021 – Pertengahan tahun 2000, dunia fotografi Indonesia mulai menggeliat. Transformasi teknologi dalam bidang fotografi melesat. Para jurufoto atau fotografer, ada yang membuka diri terhadap perubahan dan beradaptasi dengan belajar dan mulai mempercayakan pembakaran oleh cahaya pada media yang disebut sensor yang akan diproses menjadi angka binari, bukan pada emulsi film yang dilanjutkan dengan proses berbasah-basah dan akrab dengan cairan kimia. Ada juga yang “menolak” kehadiran “alien” ini, alhasil ada yang akhirnya terpaksa menerima kehadiran sang alien, ada juga yang tetap menolak dan akhirnya beralih profesi, namun ada juga yang justru mendalami dunia fotografi analog ini dan makin luwes menari bersama cahaya dan menorehkannya dalam rumah foto seni.
Loncat ke tahun 2010, dunia fotografi semakin marak dengan kehadiran jurufoto muda dan segar, yang akrab dengan bahasa digital dan seringkali mereka berkolaborasi dengan teman atau figur yang fasih dalam mengolah imaji menggunakan aplikasi atau piranti lunak yang juga makin canggih. Kagum melihat hasil karya mereka semua, dan waktu pemrosesan yang sangat singkat. Apalagi ketika melewati tahun 2010, eksplorasi dalam berkarya sudah bebas hambatan.
Predikat pekerja foto atau fotografer profesional makin banyak dikenakan atau tertulis pada kartunama seseorang. Senang melihat betapa meriah dunia fotografi akhirnya, berbeda dengan ketika mereka menyatakan akan bekerja sebagai fotografer. Ragam peralatan, baik kamera, lensa, lampu, dan komputer benar-benar menjangkau semua lapisan masyarakat. Apalagi ketika para produsen ponsel menyambut dan memenuhi kebutuhan pasar, saluran dan fasilitas untuk tampil di publik dunia maya. Bayangkan saja, hasil jepretan kamera ponsel bisa dicetak ukuran billboard. Semua orang berjuang dan rela mencicil demi memiliki dan tampil bersama dan atau melalui ponsel mereka. Seperti umumnya “benda bermakna” yang lainnya, ponsel juga menjadi simbol status atau kemampuan ekonomi seseorang.
“Kembali ke ranah fotografi dan fotografer, tahun 2012 lalu saya sempat berkata bahwa ke depannya kamera yang dipakai kerja ada tiga format: Medium Format, Fullframe Mirrorless dan Ponsel. Bukan mengecilkan peran dan kemampuan DSLR. Dengan ragam pilihan alat dan kategori harga yang ada, bisa dipastikan pintu terbuka lebar bagi siapapun untuk bisa bekerja sebagai fotografer,” ujar Danny Tumbelaka, Founder at Datum Photography, senior fotografer yang menjadi nara sumber dalam kesempatan acara serial webinar KUMBA MMUI episode ke 51, yang digelar pada hari Selasa malam kemarin, 5 Oktober 2021.
“Seiring waktu, saya sempat temui beberapa hal dalam dunia fotografi komersial, dimana ‘persaingan’ yang ada, menurut beberapa kolega seangkatan saya, seringkali diatasi oleh fotografer muda melalui taktik ‘banting harga’. Sempat cukup sengit perdebatan yang terbang kesana kemari di dunia maya. Menarik melihat dan menyimak semua itu,” Danny melanjutkan.
“Suatu ketika beberapa kolega japri saya, menanyakan bagaimana perputaran dan sebagainya yang akhirnya ada pertanyaan signifikan dari mereka, ‘Memangnya elo gak kena dampak dari persaingan yang ada sekarang? Makin banyak fotografer, tapi permintaan atas jasa foto makin sedikit’. Saya termanggu, lalu agak geli, karena saya malah tidak pernah merasa ada pesaing, iya, tidak merasa ada pesaing… Saya anggap semua fotografer, siapapun dia, adalah kolega saya. Terserah bila ada di antara mereka yang anggap saya pesaing mereka atau ancaman buat bisnis mereka. Saya membuka pintu untuk siapapun, aplagi kolega, para fotografer.”
Bicara tentang klien, Danny merawat klien apa adanya, ada yang bertahan, ada yang tidak, sering juga dipanggil oleh klien yang sempat berpaling untuk mengerjakan ulang sebuah pekerjaan yang sempat dikerjakan fotografer lain. Hubungan dengan klien yang dijalinnya bukan dengan pendekatan bisnis atau keuntungan finansial, tapi hubungan baik. Selalu sigap membantu mereka, tidak hanya di saat mereka mampu membayar fee, namun beliau selalu senang mendukung mereka di berbagai saat dan kondisi yang mereka alami saat itu. Perspektif bisnis secara umum mengatakan itu sebuah kebodohan, namun ada seorang teman yang mengatakan bahwa ternyata si Danny ini menjalankan program investasi terus menerus. Dia juga sampaikan bahwa hubungan atau interaksi yang melatari kerjasama yang mutual, menimbulkan rasa percaya, nah ini banyak yang lupa. Ditambah dengan pengalaman memulai kerja sebagai fotografer pada era analog, sehinga bekal cukup mumpuni untuk diterapkan dalam fotografi digital. Menarik juga pemikiran teman satu ini, bikin Danny semakin semangat.
“Kalau ada yang tanya ke Danny tentang bagaimana fotografi di masa depan? Beliau pasti akan menjawab; sangat menarik, mengapa? Karena alam yang akan membantu semua untuk menemukan diri masing-masing termasuk sebagai fotografer. Tentang fotografi di masa mendatang? Beliau menantikan kita bisa memotret hanya dengan melalui fikiran, melalui mata kita sedang melihat yang bisa merekam foto kapanpun kita mau, tanpa alat yang pastinya, sangat menyenangkan,” Bambang Iman Santoso, Pengurus KUMBA menjelaskan.
“Webinar kali ini cukup menarik, karena selain alumni dan mahasiswa MM FEB UI banyak masyarakat umum yang juga join. Sementara kami panitia kali ini hanya menyiapkan 100 partisipan, yang biasanya bisa sampai dengan 500 partisipan. Namun kami menyediakan rekamannya di Youtube Channel-nya KUMBA,” Bambang menambahkan.
“Mahasiswa banyak yang join, karena acara sharing session serial webinar ini mendapat restu 5 SKE (satuan kredit ekstrakurikuler) dari bagian akedemik dan kemahasiswaan. Sebagai mahasiswa sagat penting bagi kami memiliki kesempatan mengikuti diskusi ini dengan berbagai topik yang selalu menarik,” kata Afiff Wira Perdana, Ketua SCMMUI (Student Committee MMUI).