Gunakan Prinsip Hidrotermal, Pakar ITB Kembangkan Alat Pengolah Sampah Kota Menjadi Bahan Bakar Padat

BANDUNG – Indonesia memiliki masalah serius dalam bidang penanganan sampah kota. Hampir seluruh pengelola sampah di Indonesia masih menggunakan cara-cara konvensional kumpul-angkut-buang untuk mengatasi masalah sampah, sehingga sampah akan terus menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di lain pihak, sampah dapat dilihat sebagai sumber energi yang belum termanfaatkan. Bahan bakar yang diperlukan dapat dipasok dari sampah kota yang sudah diolah dan memiliki karakteristik serupa dengan bahan bakar konvensional. Dengan memproduksi bahan bakar dari sampah kota, permasalahan volume sampah dapat diselesaikan dan sumber daya bahan bakar yang berkelanjutan bisa didapatkan. Oleh karena itu, ide konversi sampah kota menjadi bahan bakar terbarukan perlu dikembangkan. Hal ini yang menjadi tantangan bagi para pakar di Kelompok Keahlian (KK) Konversi Energi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (FTMD ITB).

Tantangan yang ada datang dari cara mengolah sampah kota yang tercampur-baur untuk menjadi bahan bakar serupa dengan bahan bakar konvensional. “Banyak jenis pengolahan sampah yang sudah dicoba, namun hingga saat ini belum didapatkan metoda yang mumpuni sekaligus layak secara ekonomi,” ujar Prof. Ari Darmawan Pasek dari KK Konversi Energi FTMD ITB. Sebuah teknologi inovatif yang dapat mengubah sampah kota menjadi bahan bakar padat yang seragam dan ramah lingkungan telah dikembangkan di Laboratorium Termodinamika Kelompok Keahlian Konversi Energi FTMD ITB.

Baca juga  5 Tim PKM dan 6 Tim P2MW UKDW Raih Hibah di Tahun 2023

Dengan menggunakan prinsip hidrotermal, sampah kota campuran organik-plastik yang tidak terpilah dapat dimanfaatkan kembali, dan dengan cara pandang terhadap Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) dapat diubah dari tempat pembuangan sementara menjadi tempat pengolahan akhir. Sampah yang telah terolah – dalam volume yang jauh lebih kecil – dapat dibawa ke stasiun penyimpanan untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangkit atau pabrik.

Cara Kerja Alat dan Keunggulannya
Sampah padat yang telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam reaktor bersama dengan air. Setelah proses umpan selesai, reaktor ditutup dan proses dimulai dengan memanaskan reaktor hingga temperatur operasi. “Konsep ini serupa dengan memasak menggunakan panci ‘presto’. Produk yang diperoleh akan berupa padatan seragam yang berukuran lebih kecil. Yang dapat digunakan sebagai bahan bakar padat,” terang Dr. Pandji Prawisudha.

Baca juga  Buku “COVID-19 and Beyond” Hasil Kolaborasi Antar Prodi UPH

Pada tahun 2015-2017, penelitian yang dilakukan telah berhasil melakukan pengambilan data sampah dan perancangan prototipe alat pengolah sampah yang tidak membutuhkan sumber energi dari luar  (mandiri) dan mudah dipindahkan (mobile). Pengembangan terus dilakukan untuk mendapatkan prototipe yang memiliki keandalan tinggi.

Keunggulan utama teknologi ini adalah sampah kota yang diolah tidak memerlukan proses pemilahan maupun pencacahan terlebih dahulu. “Sampah dapat diproses apa adanya, dan dua alternatif produk dapat dihasilkan dari pemrosesan satu jenis produk seragam berisi campuran organik dan plastik yang dijadikan bahan bakar padat bernilai kalor tinggi dalam bentuk briket, atau dua jenis produk organik dalam bentuk halus dan produk plastik terpisah yang dapat digunakan dalam proses recycling lebih lanjut,” ujar Pandji.

Baca juga  #GemilangDi30Tahun; Semangat P&G Indonesia Rayakan HUT Ke-30 melalui Konser Amal “Satukan Nada Wujudkan Mimpi Anak Indonesia”

Penelitian lanjutan yang berfokus dalam pengolahan sampah organik maupun sampah biomassa juga menunjukkan potensi penggunaan cairan produk sebagai pupuk cair oganik (POC) mengingat kandungan makronutrisi NPK yang cukup tinggi di dalam cairan produk. “Penelitian serupa untuk produk padatan juga menunjukkan potensi produk padat sebagai kompos, dengan kecepatan pematangan kompos yang jauh lebih tinggi, mampu menghasilkan kompos matang dalam waktu 11 hari dibandingkan dengan proses komposting konvensional yang membutuhkan waktu hingga tujuh pekan,” pungkas Dr. Pandji Prawisudha.