Pemda Harus Berinovasi untuk Wujudkan Kemandirian Fiskal Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia telah berlangsung selama dua dasawarsa yang dimulai sejak era reformasi 1998/1999. Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara (PKAKN) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI Helmizar mengatakan, otonomi dan desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sesuai dengan potensi, kondisi, dan aspirasi masyarakat.

“Kemandirian keuangan daerah diukur dari perbandingan besarnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi dengan total penerimaan daerah. Semakin besar PAD tentunya akan semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah dan sebaliknya. Semakin rendah kontribusi PAD maka semakin rendah tingkat kemandirian fiskal daerah atau semakin tinggi ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat,” jelas Helmi.

Kepada Parlementaria usai menyampaikan sambutan pada Seminar Nasional PKAKN dengan tema “Kondisi dan Hambatan dalam Meningkatkan Kemandirian Fiskal Daerah”, Senin (6/9/2021), Helmi mengatakan bahwa yang terpenting di dalam membangun kemandirian fiskal daerah adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu membuat atau menginovasi PAD-nya.

“Sebenernya yang paling terpenting itu bagaimana pemerintahan provinsi kbupaten/kota di dalam meng-create atau menginovasi di dalam mendapatkan pendapatan daerahnya terutama di dalam masa-masa pandemi. Jadi pada saat pandemi pun ada beberapa Kabupaten Kota yang pendapatan asli daerahnya itu meningkat,” terang Helmi.

Berdasarkan laporan hasil review BPK terhadap kemandirian fiskal daerah tahun 2020 atas 503 pemda diketahui, sebanyak 443 dari 503 Pemda atau 88,07 persen masuk dalam kategori belum mandiri. Dan hanya terdapat 10 dari 503 Pemda atau 2 persen yang masuk dalam kategori Mandiri. Melihat kondisi tersebut, Helmi menyimpulkan bahwa selama dua dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum terjadi perubahan yang fundamental terkait tingkat kemandirian keuangan daerah.

Sementara itu, Analis APBN Ahli Pertama PKAKN Setjen DPR RI Faqih Nur Huda mengatakan bahwasannya desentralisasi fiskal yang sekarang diterapkan oleh pemerintah masih berupa pendekatan belanja. Sehingga untuk mencapai kemandirian fiskal masih sulit dicapai, karena kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata negara atau NKRI, juga karena pajak kita yang saat ini masih tersentralisasi di pusat.

“Materi yang disampaikan daribpara narasumber dibseminar ini akan kita olah menjadi suatu bentuk kajian, terutama kondisi saat ini dan hambatan-hambatannya, termasuk mungkin rekomendasi-rekomendasi atau usulan-usulan yang akan mungkin bisa diberikan ke Komisi XI terutama hasil diskusi kami terhadap pemerintah kabupaten/kota,” paparnya.

Sementara itu, Direktur Pendapatan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hendriwan yang hadir sebagai salah satu narasumber menjelaskan, sebetulnya pemda, pemkab dan pemkot dapat menjalankan kemandirian fiskalnya dengan berinovasi dalam penggunaan PAD, yang juga turut disertai dengan landasan hukum pendampingnya. Karena memang diakui, banyak keterbatasan yang dimiliki pihak pemerintah daerah dalam menjalankan kemandirian fiskalnya.

“Kami berharap, tolong diberikan diskresi alternatif dalam aturan itu. Dalam hal atau apabila kondisi daerah tidak seperti ini, maka boleh seperti itu. Tapi regulasinya harus dicantumkan. Misalkan ada daerah boleh berinovasi itu ada di UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Daerah dapat berinovasi dalam rangka pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemda bagaimana meningkatkan pelayanan agar PAD meningkat, itu dibolehkan yang penting dibuat regulasi atau landasan hukumnya,” tutupnya. (ndy/es)