Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi perhatian serius Ketua DPR RI Puan Maharani. Dirinya meminta pemerintah memberi jaminan perlindungan terhadap perempuan, termasuk mereka yang terlibat pada praktik-praktik kawin kontrak.
“Tewasnya Sarah, perempuan asal Cianjur yang disiram air keras oleh suami kontraknya menjadi potret pedih kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Ini menjadi tamparan buat kita bersama betapa perlindungan kepada kaum perempuan masih sangat minim,” kata Puan dalam keterangan persnya kepada Parlementaria, Selasa (23/11/2021).
Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi. Sepanjang 2020, terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan dan untuk periode Januari-Juli 2021, tercatat ada 2.500 kasus. Berdasarkan data tersebut, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis hingga ekonomi.
Puan pun menggarisbawahi praktik kawin kontrak bermodus nikah siri memiliki risiko tinggi akan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. “Dan walaupun banyak kejadian kekerasan, praktik kawin kontrak, khususnya dengan WNA, masih saja terus terjadi. Padahal praktik kawin kontrak ini sangat rentan menjadikan perempuan sebagai korban,” ucap Puan.
Untuk itu, politisi PDI-Perjuangan itu meminta pemerintah serius menangani persoalan kawin kontrak ini. Menurutnya, pencegahan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan memerlukan komitmen bersama dari berbagai kementerian dan instansi terkait.
“Pemerintah harus bisa memberi jaminan perlindungan kepada perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) harus menggandeng Kementerian Agama, pemerintah daerah, bersama teman-teman Polri dan instansi terkait lainnya untuk mensosialisasikan potensi terjadinya kekerasan lewat praktik kawin kontrak,” sebut Puan.
Puan juga menekankan pentingnya pengawasan di daerah-daerah yang banyak ditemukannya praktik-praktik kawin kontrak. Puan menilai perangkat desa punya peranan penting mengingat pamong desa merupakan perwakilan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat. “Untuk pencegahan harus dilakukan dari hulu lewat bentuk pengawasan dan pembinaan kepada masyarakat. Sampaikan risiko yang akan dihadapi jika warga hendak melakukan nikah siri kawin kontrak,” ujarnya.
Selain itu, Puan menilai pembekalan, pembinaan dan pengawasan juga penting dilakukan kepada para penghulu atau amil yang sering bertugas menikahkan pasangan. Ini menjadi tugas dari Kemenag. “Lewat Kantor Urusan Agama (KUA), pencegahan kawin kontrak berkedok nikah siri bisa lebih diminimalisir. Pastikan para penghulu dan amir tidak asal menikahkan pasangan, tapi juga ikut mengawasi dan memberikan perlindungan kepada warga,” terang Puan.
Menurutnya, pemerintah harus bisa mencegah menjamurnya praktik kawin kontrak yang banyak menimbulkan korban dari pihak perempuan. Puan menyebut ketegasan dari pemangku kebijakan sangat diharapkan sebab masyarakat sudah banyak yang resah dengan maraknya kasus kawin kontrak, khususnya di daerah pedesaan. “DPR RI sendiri terus berkomitmen memberikan perlindungan kepada perempuan melalui berbagai regulasi yang berpihak kepada perempuan,” ungkapnya.
Salah satu upaya yang dilakukan DPR RI adalah melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini masih dalam pembahasan. Perlindungan terhadap perempuan menjadi salah satu cakupan dalam RUU ini mengingat perempuan menjadi mayoritas korban kekerasan seksual. “Lewat RUU TPKS, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan bisa dicegah. Karena itu kami di DPR sedang berupaya agar RUU TPKS yang sedang dibahas bisa segera disahkan,” tutup Puan. (ann/sf)