- PDB riil tumbuh 5% secara tahunan pada triwulan keempat 2021, membuat angka PDB tahun 2021 mencapai 3,7%
- Sektor konsumsi dan perdagangan menjadi faktor utama, sementara sektor-sektor lainnya juga membaik mendekati level sebelum pandemi
- Momentum yang baik ini kemungkinan akan berlanjut pada tahun ini, kendati varian Omicron merebak
- Tekanan inflasi akan berlanjut di sekitar pertengahan kisaran BI tahun ini
- Implikasi pasar: Pergeseran kebijakan global kemungkinan akan mendominasi faktor pendorong pertumbuhan domestik
Pertumbuhan triwulan ke-4 2021 merupakan yang tercepat dalam tujuh triwulan terakhir
Perekonomian Indonesia tumbuh 5% secara tahunan pada triwulan keempat 2021, lebih cepat daripada konsensus dan ekspektasi DBS Group Research, dan naik 1,1% dari triwulan ketiga 2001. Pertumbuhan PDB setahun penuh pada 2021 mencapai 3,7% secara tahunan, dibandingkan dengan perkiraan DBS Group Research, yang sebesar 3,6%, dan proyeksi pemerintah 3,7-4,5%.
Jumlah kasus Covid menurun tajam pada triwulan terakhir 2021, seiring dengan peningkatan vaksinasi, yang membuat pembatasan sosial lebih longgar. Mobilitas meningkat seiring dengan meningkatnya indikator kegiatan lain – antara lain survei kepercayaan, penjualan eceran, pertumbuhan kredit, bahan baku, dan impor barang setengah jadi. Hal ini mencerminkan normalisasi dalam kegiatan domestik, ditambah dengan ekspor yang didorong oleh harga komoditas menghasilkan pertumbuhan PDB nominal lebih kuat.
Pengeluaran konsumsi memberi sumbangan terbesar pada pertumbuhan PDB nominal seiring dengan pertumbuhan investasi dan ekspor yang lebih tinggi, bahkan saat sumbangan ekspor dimoderasi oleh impor lebih tinggi. Di sektor konsumsi, konsumsi rumah tangga dan pemerintah naik, walaupun terbantu oleh basis yang rendah di tahun sebelumnya. Pembentukan modal tetap bruto diuntungkan oleh hasil produksi mesin dan peralatan lebih tinggi serta produk ekonomi kreatif, selain peningkatan inventaris.
Sejalan dengan perkiraan, pertumbuhan ekspor meningkat menjadi 30% secara tahunan pada triwulan keempat 2021, dengan harga komoditas yang meningkat hingga mendorong pendapatan. Namun, kenaikan impor 29,6% secara bersamaan mengurangi kontribusi komponen ini terhadap pertumbuhan PDB nominal.
Jika menggunakan indeks (Desember 2019=100), pertumbuhan PDB nominal secara keseluruhan melampaui tingkat sebelum pandemi, sementara sektor konsumsi juga mendekati level sebelum pandemi.
Prospek: Model ramalan PDB DBS, GDP Nowcast, menunjukkan kemungkinan peningkatan PDB nominal pada triwulan pertama 2022 (berdasarkan atas indikator utama).
Saat memasuki 2022, peningkatan jumlah kasus Covid kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak terlalu besar pada prospek pemulihan. Jumlah kasus Covid di Indonesia kembali melonjak dalam beberapa pekan terakhir, didorong oleh varian Omicron, yang sangat mudah menular. Pihak berwenang memperketat pembatasan mobilitas di Jakarta, Bandung, dan Bali ke tingkat tertinggi kedua pada Senin, yang mencakup pembatasan kapasitas di tempat umum selama seminggu, sebagai permulaan. Meskipun pembatasan ini kemungkinan ditinjau secara berkala, DBS Group Research memperkirakan pembatasan ini belum akan diperketat guna menjaga pertumbuhan dan lapangan pekerjaan, melihat indikasi bahwa ternyata varian ini tidak terlalu ganas.
Sektor pariwisata juga sedang dihidupkan kembali melalui gelembung perjalanan/jalur perjalanan untuk wisatawan yang telah divaksinasi dengan negara tertentu, sembari membuka kembali pusat pariwisata, seperti, Bali.
Pertumbuhan yang tinggi pada triwulan keempat 2021 dan ketahanan pada triwulan pertama menempatkan ekonomi pada pijakan lebih kuat untuk menghadapi dampak pandemi. Permintaan yang melonjak, peningkatan dalam kegiatan bisnis terutama sektor jasa, pengeluaran pemerintah dan perdagangan (pada tingkat lebih rendah karena impor naik), menjadi alasan DBS Group Research dalam memperkirakan pertumbuhan sebesar 4,8% secara tahunan untuk tahun ini.
Di sisi komoditas, pihak berwenang telah berupaya menyiapkan pasokan cukup untuk pemain domestik di tengah kenaikan tajam harga global, di samping upaya lebih luas untuk meningkatkan nilai komoditas dengan memperluas kehadiran di industri hilir.
Saat strategi ini dihidupkan kembali, dalam waktu dekat, surplus perdagangan bisa menjadi moderat, karena peningkatan permintaan juga meningkatkan permintaan impor untuk bahan baku dan barang setengah jadi, yang akan membuat neraca transaksi berjalan kembali ke zona merah moderat pada tahun ini.
Inflasi kembali ke kisaran BI
Inflasi Januari menguat menjadi 2,2% secara tahunan, kembali ke kisaran target Bank Indonesia, yang sebesar 2-4%, dan tercepat sejak Mei 2020. Inflasi inti meningkat 1,8% secara tahunan, terkuat sejak triwulan ketiga 2020, didorong oleh normalisasi permintaan di tengah pelonggaran pembatasan.
Peningkatan tekanan harga terjadi secara luas dan merata, disebabkan oleh peningkatan harga makanan, pakaian, utilitas, peralatan rumah tangga, transportasi, dan beberapa jenis layanan. Selain faktor musiman menjelang akhir tahun, tekanan harga didorong oleh kombinasi sektor jasa, penyesuaian harga LPG non-subsidi, sewa rumah, serta kegiatan ekonomi yang kembali normal, meskipun ada perpanjangan harga yang diatur (tarif BBM dan listrik).
Jika melihat ke depan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai yang akan datang, peningkatan permintaan, dan tekanan impor kemungkinan menyebabkan kenaikan inflasi keseluruhan, rata-rata 3% secara tahunan pada tahun ini. Reformasi subsidi atau penyesuaian harga akan menambah momentum kenaikan ini. Risiko penurunan ada dua, yaitu: a) situasi pandemi yang berkembang menimbulkan risiko buruk, tetapi beberapa gelombang terakhir memiliki dampak lebih kecil pada tren harga, yang kemungkinan juga terjadi pada Omicron; b) dukungan pemerintah melalui aturan harga atau kebijakan lain yang diatur (misalnya, memperkuat kebijakan kewajiban pasar domestik (KPD) untuk batu bara, minyak sawit, dan lain-lain untuk menekan harga domestik.
Bank Indonesia akan mengadakan pertemuan pekan ini, dengan Gubernur BI kemungkinan menekankan keperluan akan sikap waspada terhadap latar belakang kebijakan global yang menantang dan kondisi likuiditas ketat. BI telah memulai normalisasi likuiditas dengan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) pertama, yang dijadwalkan pada Maret. Pernyataan agresif baru-baru ini telah meningkatkan risiko kenaikan berlanjut ke triwulan kedua 2022.