Jakarta, Indonesia – Masyarakat di kawasan Asia-Pasifik[1] dan di seluruh dunia, mengalami setidaknya satu atau lebih tantangan tidur sejak awal mula COVID-19, dengan hampir dua pertiga (62%) responden menyatakan pandemi telah berdampak secara langsung terhadap kemampuan mereka untuk tidur nyenyak. Royal Philips (NYSE: PHG, AEX: PHIA), pemimpin global di bidang teknologi kesehatan, melalui studi tidur tahunannya yang ke-6 bertajuk, makaTemuan ini diumumkan bersama beberapa temuan lainnya. “Seeking Solutions: How COVID-19 Changed Sleep Around the World”.
Seperti ketakutan dan kekhawatiran dalam situasi krisis umumnya, pandemi ini telah memperburuk masalah tidur masyarakat dunia. Hampir setahun setelah COVID-19 merebak, menurut studi tidur global Philips 2021 yang dirilis dalam rangka World Sleep Day 2021 (19 Maret), masyarakat di APAC melaporkan bahwa mereka tidur lebih banyak, dengan rata-rata 7,2 jam per malam (dibandingkan 7,1 jam pada studi di 2020), tetapi 1 dari 4 (41%) merasa tidak puas dengan tidur mereka.
“Pandemi ini telah mengubah kehidupan sehari-hari kita, termasuk kebiasaan tidur kita. Banyak orang tidak mendapatkan tidur yang cukup dan berkualitas di malam hari karena berbagai tantangan, mulai dari stress masalah keuangan, tekanan dari keluarga, koneksi internet yang tidak stabil, bekerja dari rumah, hingga membantu anak sekolah online,” komentar Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Indonesia. “Kualitas tidur sangat penting bagi produktivitas dan kesehatan kita secara menyeluruh, jadi jika kita memiliki masalah tidur, maka kita harus mengambil tindakan untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan. Masalah tidur bisa jadi merupakan gejala serius dari kondisi-kondisi kronis lainnya terkait tidur.”
Meski Indonesia belum termasuk dalam studi ini, Philips Indonesia memperingati World Sleep Day 2021 dengan mengingatkan kembali serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya tidur berkualitas, terutama di tengah pandemi ini.Untuk itu, Philips Indonesia menggandeng salah satu dari sedikit sekali praktisi kesehatan tidur di Indonesia, Dr. Andreas Prasadja, RPSGT dari Snoring and Sleep Disorder Clinic di RS Mitra Kemayoran Jakarta, untuk mengungkap situasi kesehatan tidur di Indonesia.
“Telah terjadi perubahan komposisi masalah tidur pada pasien saya. Sebelum pandemi, 50% pasien yang datang ke saya mengalami insomnia, sementara 50% lagi sleep apnea. Sekarang, 70% pasien saya adalah pasien insomnia dan 30% sleep apnea,” jelas Dr. Andreas. “Kurang tidur dapat mengakibatkan produksi hormon stress yang meningkat, sehingga melemahkan sistem imun tubuh. Selain itu, bisa juga menyebabkan pembengkakan pada tubuh. Karenanya, mendapatkan tidur berkualitas menjadi lebih penting lagi di tengah pandemi ini.”
Masyarakat di Asia-Pasifik menghadapi hambatan untuk dapat tidur nyenyak tiap malam
Bagi setengah dari responden survei di APAC, pola tidur mereka telah berubah Ketika pandemi melanda – hampir seperempat (22%) menyatakan bahwa waktu tidur malam mereka berkurang setiap malam, dengan hanya 35% mengaku merasa cukup istirahat ketika bangun pagi, dan 44% mengalami kantuk di siang hari.
Mendapatkan tidur yang nyenyak hingga pagi merupakan tantangan bagi banyak orang. Responden studi mengalami kesulitan seperti terbangun di tengah malam (42%), kesulitan tertidur (33%), dan sulit untuk tetap tertidur (26%).
Kekhawatiran dan stres menjadi alasan utama mengapa orang dewasa di APAC kurang tidur (21%), disusul oleh penggunaan gawai seperti ponsel dan tablet (17%) serta lingkungan tidur (16%).
Masyarakat di Asia-Pasifik yang kerap terjaga akibat kekhawatiran/stress, mengatakan bahwa hal yang paling mereka khawatirkan adalah masalah finansial (54%), tanggung jawab pekerjaan (52%), kesehatan diri dan keluarga (38%), dan kondisi keluarga secara umum (34%). Hampir setengah (43%) juga khawatir dengan pandemi COVID-19 yang masih berlanjut.
Penggunaan ponsel berakibat kebiasaan tidur yang tidak konsisten
Bagi yang terbiasa menggunakan ponsel di tempat tidur, separuh (50%) menyatakan bahwa itu adalah hal terakhir yang dilakukan sebelum tertidur dan pertama setelah terbangun (51%). Sebagian besar menggunakan untuk hiburan (49%), mengisi daya ponsel semalaman persis di samping tempat tidur (37%), dan lebih dari seperlima (22%) bahkan menjawab pesan dan panggilan telepon yang membuat mereka terbangun.
Sebagian besar responden yang menggunakan ponsel sebelum tertidur (78%) mengaku bahwa hal itu menyebabkan mereka tertidur lebih larut dari waktu yang seharusnya, akibat scrolling media sosial (75%), menonton video (67%), mengecek email (39%), berbalas pesan (37%), atau membaca berita terkait pandemi COVID-19 (45%).
Mengambil tindakan untuk tidur yang lebih baik
Untuk mendapatkan tidur malam yang lebih baik, masyarakat APAC kini bereksperimen dengan berbagai metode, termasuk mendengarkan musik yang menenangkan (41%), membaca (40%), menonton televisi (39%), membuat jadwal untuk tidur dan bangun (35%), mengurang konsumsi kafein (25%), dan menggunakan aplikasi atau alat untuk memonitor tidur mereka (18%).
Sisi positifnya, masyarakat APAC juga telah memanfaatkan telehealth dan mencari Informasi kesehatan online untuk mengatasi masalah tidur. Separuh (50%) mengatakan mereka baru pertama kali memanfaatkan konsultasi melalui telehealth ketika pandemi. Dengan adanya peningkatan kepercayaan dan pemanfaatan telehealth saat pandemi, 6 dari 10 (60%) responden menyatakan kesediaan untuk mencari bantuan mengatasi masalah tidur dari spesialis kesehatan tidur melalui layanan telehealth di masa mendatang, meskipun saat ini banyak yang belum melakukannya.
Kesadaran umum akan pentingnya tidur dan kebutuhan untuk mengatasi akar masalah tidur juga membuat masyarakat di APAC lebih terbuka untuk pergi ke dokter spesialis tidur (45%), dokter umum (41%), mencari Informasi secara online (41%), dan menggunakan telehealth atau berkonsultasi dengan spesialis secara online (40%).
“Alat yang dibutuhkan untuk memberikan layanan telehealth secara efisien dan andal sudah ada, dan minat dari konsumen juga terlihat, terutama di masa COVID-19,” kata Dr. Teofilo Lee-Chiong, MD, Chief Medical Liaison, Sleep & Respiratory Care di Philips. “Jika digunakan dengan tepat, telehealth kesehatan tidur memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan, meningkatkan hasil akhir perawatan, memberdayakan pasien untuk membuat keputusan terinformasi, dan menyediakan layanan kesehatan yang merata bagi semua orang.”
Mengambil langkah tegas untuk mengatasi masalah tidur seperti OSA
Ketika masyarakat di APAC mulai mencari berbagai cara untuk mengatasi masalah tidur, rasa takut masih menjadi penghalang bagi penderita untuk mendapatkan diagnosa gangguan tidur, seperti obstructive sleep apnea (OSA). Satu dari 3 (31%) responden takut untuk menjalani tes tidur karena tidak mau mengetahui jika mereka menderita OSA, sementara 28% percaya bahwa tidak perlu mendapatkan perawatan untuk OSA.
Sebagai kondisi yang jarang didiskusikan, dan sering tidak terdiagnosa, OSA ditandai dengan gangguan pernapasan atau henti napas beberapa kali sepanjang tidur sehingga mencegah oksigen mencapai paru-paru. Gejala OSA termasuk tersedak atau napas tersengal saat tidur, dengkuran yang keras dan terus-menerus, kelelahan berlebihan dan konsentrasi yang buruk di siang hari.
“OSA telah teridentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk penyakit COVID-19 parah yang bisa mengakibatkan pasien harus dirawat di rumah sakit[2]. OSA juga secara independen dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas terkait COVID-19[3],” tutur Dr. Andreas dalam paparannya di acara memperingati World Sleep Day 2021 bersama Philips Indonesia. “Sayangnya, masih banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan menyepelekan gejala OSA, terutama mendengkur.”
Sebagai pemimpin terpercaya di bidang perawatan tidur dan pernapasan, Philips menawarkan sumber daya dan solusi tidur untuk membantu konsumen secara aktif mengambil peran dalam kesehatan tidur mereka, yang akan meningkatkan kesehatan mereka secara keseluruhan. Philips memiliki komitmen mendalam untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas tidur dan bahaya sleep apnea.