Tentang Jatidiri Arsitektur Indonesia

Untuk kali keempat, Laboratorium Sejarah, Kajian Teknologi dan Desain – Fakultas Arsitektur dan Desain (FAD) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) telah menggelar bedah karya ilmiah dalam wacana populer, yang bertujuan menyebarluaskan disertasi/tesis agar bisa dibaca dan dicerna oleh kalangan yang lebih luas. Kali ini, yang menjadi bahan kajian untuk dibedah adalah disertasi dari Dr. Maria I. Hidayatun –Dosen Universitas Kristen Petra Surabaya – yang berjudul Regionalisme arsitektur; Sebuah Kajian Teoritis untuk Identitas Arsitektur Indonesia, yang kebetulan disertasi ini juga sudah ditulis dalam bentuk buku dengan judul  Jatidiri Arsitektur Indonesia; Regionalisme dalam Konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Moderator dalam acara ini, Linda Octavia menegaskan di awal bahwa buku ini merupakan sebuah buku yang patut dijadikan acuan dalam mengembangkan arsitektur Nusantara, di masa kini dan di masa depan. Saat ini (dalam buku/disertasi ini) memang masih dalam level teoritis, yang tentu bisa dikembangkan lagi dalam level praksis sampai praktis berarsitektur, sehingga nantinya bisa menjadi rujukan bagi para arsitek di Indonesia untuk bisa menampilkan karya yang me-Nusantara dan meng-Indonesia.

Baca juga  Honda Prospect Motor Secara Resmi Telah Membuka Dreams Cafe

Maria Hidayatun memaparkan tentang bagaimana Regionalisme yang awalnya memang berasal dari wacana Barat, kemudian dikritisi dengan memunculkan wacana regionalisme dari Indonesia sendiri. Regionalisme sendiri sebetulnya merupakan reaksi atas berkembangnya internasionalisme, universalisme, globalisasi dan hegemoni Barat atas yang non-Barat. Selama ini, pandangan tentang universalitas dan lokalitas bersumber pada pandangan dunia Barat yang utamanya bertumpu pada pola pikir Eropa dan Amerika (Erorika). Lalu, dengan bertumpu pada yang di luar Eropa-Amerika sebagai Liyan, dimunculkanlah regionalisme Indonesia yang antara lain berasal dari para pemikir arsitektur Indoenesia seperti Galih Widjil Pangarsa, Josef Prijotomo, Mohammad Nanda Widyarta, YB Mangunwijaya dan lain-lain yang akhirnya bisa menjadi bibit awal munculnya wacana regionalisme yang meng-Indonesia.

Sedangkan parameter jatidiri sangat tergantung pada pemahaman lokalitas secara menyeluruh. Eropa dan Amerika merupakan sebuah benua (daratan), dan lokal bagi keduanya adalah negara-negara yang ada di dalam benua tersebut. Sedangkan Indonesia sendiri adalah sebuah negara dengan wilayah geografis yang sangat luas, yang tersusun atas daerah-daerah yang beragam, bahkan pulau-pulau yang memiliki karakteristik berbeda-beda, walaupun tetap memiliki kesemestaan yang mewujud dalam jatidiri yang Bhinneka Tunggal Ika.

Profesor Titien Saraswati dalam pembahasannya menyatakan bahwa sekarang ini kita di Indonesia berada dalam kondisi “krisis identitas” dalam berarsitektur. Misalnya nama-nama perumahan yang memakai nama-nama manca/asing, padahal kita juga punya nama-nama yang tak kalah bagus dan bahkan lebih baik. Jika ini terus dibiarkan, maka bisa dikatakan bahwa kita tak percaya dengan identitas kita sendiri. Profesor Titien juga menggarisbawahi bahwa jatidiri arsitektur Indonesia ini bersifat becoming (dalam proses menjadi), sehingga regionalisme juga memiliki sisi sustainable, sebuah pencarian yang berkelanjutan, terus-menerus. Dalam proses tersebut, tentunya para arsitek di Indonesia harus peka dengan lokalitas, sadar di mana mereka berada dan kemudian dicerminkan dalam karya-karyanya.

Baca juga  Kementerian Kesehatan Bersama Badan Siber dan Sandi Negara Bersepakat Terkait Perlindungan Informasi dan Transaksi Elektronik

Sedangkan pembahas berikutnya, Anas Hidayat membahas tentang pentingnya disertasi dan buku dari Maria Hidayatun ini, sebagai salah satu dasar untuk menumbuhkan “kebanggaan” dalam berarsitektur yang meng-Indonesia. Bahkan, Anas Hidayat menganggap disertasi/buku Maria Hidayatun ini sebagai buku “psikologi”, maksudnya secara psikologis buku ini menunjukkan bahwa kita mampu menggali jatidiri arsitektur Indonesia, sehingga seharusnya kita memiliki kebanggaan yang lebih besar untuk menjadi Indonesia. Jika tidak diawali dari “lecutan psikologis” seperti ini, maka arsitektur Indonesia akan sulit berkembang. Yang lebih penting lagi, buku ini menjadi dasar epistemologis (dasar keilmuan) yang cukup bernas, yang bisa “diturunkan” ke ranah yang bersifat praksis arsitektural.

Dalam closing statement-nya, Profesor Josef Prijotomo menegaskan bahwa kita saat ini sedang “nikmat” sekali dilanda tradisi “malas belajar”, sehingga sekaligus juga malas menjadi Indonesia. Maka “nikmat” tersebut semestinya harus dikikis agar kita bisa bangga memiliki identitas Indonesia, bukan bangga dengan yang berbau asing atau manca. Di samping itu, sebagian besar dari kita juga masih sulit untuk membedakan antara hal kebudayaan dan arsitektur, sehingga secara tidak langsung kajian tentang arsitektur menjadi berada di bawah ranah kebudayaan, dan akhirnya mempersulit kemajuan pengkajian tentang arsitektur Nusantara sendiri.