[Shenzhen, China, 27 Agustus 2021] Tokoh-tokoh di kawasan Asia Pasifik, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), ISEAS, Honey Consulting Ltd. dan Huawei menyerukan inisiatif untuk mengembangkan potensi perdagangan digital di kawasan tersebut. Kebutuhan akan ekosistem perdagangan digital yang saling terhubung, inklusif, dan multilateral ditekankan dalam diskusi bertajuk “Nikkei-ISEAS Forum on Digitalizing Trade in South East Asia and ASEAN” yang diselenggarakan oleh NIKKEI Group dan ISEAS – Yusof Ishak Institute (ISEAS).
Pandemi COVID-19 telah mempercepat proses adopsi teknologi digital. ASEAN memprediksikan bahwa ekonomi digital akan menyumbang sebesar 1 Triliun dolar AS untuk PDB regional. Sementara, data dari pihak ketiga menunjukkan 132 persen populasi Asia Tenggara telah memiliki koneksi seluler dan 463 juta orang merupakan pengguna internet.
Berbagai kesepakatan dagang telah menghubungkan kawasan ini. Pentingnya kolaborasi dalam membangun ekosistem perdagangan digital telah digaungkan oleh tokoh-tokoh dalam forum ini. Choi Shing Kwok, Direktur dan CEO ISEAS – Yusof Ishak Institute, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada NIKKEI dan Huawei atas dukungannya terhadap pertemuan ini. “Perdagangan digital adalah penggerak perdagangan di ASEAN yang menjanjikan, baik selama pandemi maupun pasca-pandemi. Dengan mengurangi biaya perdagangan dan meningkatkan produktivitas, teknologi digital seperti IoT, AI, dan 3D printing dapat meningkatkan pertumbuhan perdagangan di negara-negara berkembang, termasuk di kawasan ASEAN, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,5 persen per tahun atau setara 22,5 persen dari 2021 hingga 2030,” katanya.
Sebagai pembuat kebijakan, Dr. Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, menyoroti peran penting perdagangan digital dalam meningkatkan ekonomi digital secara luas, terutama dalam mewujudkan pemulihan ekonomi. Beliau juga menyebutkan bahwa tantangan kesenjangan infrastruktur TIK dan tingkat adopsi TIK yang tidak merata yang sedang dihadapi ASEAN dapat ditangani oleh mitra TIK seperti Huawei.
“Perdagangan digital menawarkan kesempatan emas dalam berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, antara lain pemulihan ekonomi regional dan mengatasi situasi krisis,” ujar Craig Burchell, Senior Vice President of Global Trade Affairs Huawei, yang juga mendukung kolaborasi untuk membuka potensi perdagangan digital yang bertujuan menguntungkan kawasan Asia Tenggara dan organisasi ASEAN secara umum. Beliau merujuk kepada laporan terbitan The Economist mengenai Costs of Deglobalizing World Trade sebagai sinyal peringatan terhadap praktik decoupling pada tatanan ekonomi global, serta untuk menyerukan kolaborasi yang makin erat. Poin lainnya adalah menganjurkan kebijakan Teknologi bagi Semua, atau “Technology for All”, demi optimalisasi layanan digital seperti 5G, Cloud, dan AI yang memungkinkan peluang perdagangan baru bagi semua kalangan.
Perkembangan lebih lanjut dalam bidang statistik akan dibutuhkan untuk mengembangkan tolok ukur perdagangan digital, ungkap Annabelle Mourougane, Head of the Trade and Productivity Division at OECD. “Hal ini akan mendukung analisa berbasis fakta yang juga melandasi pilihan invetasi serta pembuatan kebijakan perusahaan. Semua pelaku, termasuk penyedia TIK dan teknologi, harus terlibat dalam memajukan pemikiran dalam lingkungan yang cepat berubah. Digital Trade White Paper oleh Huawei merupakan suatu kontribusi yang bermanfaat bagi permasalahan ini.”
Stephanie Honey, Principal of Honey Consulting Ltd, mencatat bahwa meskipun Asia Tenggara memiliki komunitas dan pasar bisnis digital yang baik, namun peraturan perdagangan yang terbagi-bagi, baik di dalam maupun di luar kawasan tersebut, menyebabkan ekonomi digital tidak bisa mencapai potensi maksimalnya. Sehingga, sangat penting untuk mengadakan kolaborasi, fleksibilitas, dan partisipasi dari para pemangku kepentingan dalam membuat peraturan baru perdagangan digital, serta untuk mengintegrasikan pendekatan di sebanyak mungkin ekonomi. Ada sejumlah kesepakatan regional inovatif yang bisa dijadikan model, termasuk Digital Economy Partnership antara Singapura, Selandia Baru, dan Chile.
Sepanjang forum tersebut, gagasan untuk lebih mendorong kebijakan perdagangan digital yang terbuka dan inklusif mendapatkan pengakuan dari para pembicara. Dr. Rudy Salahuddin menyarankan para pembuat kebijakan di seluruh kawasan agar berfokus pada peraturan lintas sektor demi pemberdayaan ekonomi digital serta pemerataan manfaat perdagangan digital, termasuk kebijakan-kebijakan yang mengatur fasilitasi perdagangan, tata kelola data, privasi, logistik, dan keamanan siber.
Mengingat beberapa perbedaan yang tampak pada pendekatan yang diterapkan para blok perdagangan terbesar di dunia terkait teknologi digital, Craig Burchell menekankan pentingnya kolaborasi untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut. “Ada kebutuhan terhadap kolaborasi yang lebih erat untuk menghasilkan aturan baru dan tata kelola ekosistem digital global yang lebih baik. Pekerjaan ini akan diuntungkan dari pendekatan inklusif yang ditujukan untuk mengejar koeksistensi dan interoperabilitas ketimbang konvergensi,” sebutnya.
Webinar lanjutan yang bertema “Facilitating Digital Trade in the Region” akan diselenggarakan pada 14 September mendatang. Dilanjutkan dengan penerbitan ringkasan kebijakan dalam perdagangan digital oleh ISEAS setelah acara berlangsung.