Wakil Ketua Komisi X DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti mengakui, ketika rezim pemerintahan berganti, sistem pendidikan kerap ikut berganti mengikuti keinginan yang sedang berkuasa. Akhirnya, para siswalah yang menjadi korban perubahan sistem pendidikan tersebut.
“Periode ini kita sedang menyusun persiapan menyambut era 4.0. Belum selesai persiapan teknisnya, tiba-tiba kita berganti menjadi kurikulum MBKM. Ketika ada pergantian sistem, ya yang menjadi korban adalah anak-anak,” kata Agustina saat mengikuti rapat Panja Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PMBK) dengan para rektor dari empat kampus, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (30/9/2021).
Sebetulnya, pandang Agustina, regulasi sistem pendidikan nasional sudah sangat baik di tataran konstitusi maupun perundang-undangan. Hanya di tataran teknis pelaksanaan yang kerap mengundang kontroversi. Di sinilah, sistem pendidikan berubah mengikuti pergantian rezim. Sebaiknya, memang, sistem pendidikan tidak terus diuji coba. Bila membangun jembatan, lalu rusak itu bisa diperbaiki. “Tapi, kalau yang rusak anak-anak kita, enggak bisa diperbaiki lagi,” tutur Agustina lagi.
Politisi PDI-Perjuangan itu menyampaikan, ketika Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ingin merancang sistem baru dalam dunia pendidikan nasional, maka akan menghadapi adaptasi baru yang penuh kritik, bahkan demonstrasi. Itu adalah risiko yang harus dihadapi saat merancang perubahan. Dan sistem MBKM adalah terobosan baru dari sang menteri yang ingin mendobrak tradisi lama yang sudah lama berjalan.
“Ini adalah risiko dari sebuah perubahan dan penyesuaian baru. Untuk itulah, Komisi X membuat Panja MBKM. Mendikbud ini sedang mendobrak sebuah kebudayaan yang sudah menahun. Perubahan ini mau tidak mau pasti terjadi. Komisi X pun menyadari itu. Maka hal pertama ketika Mas Menteri membuat MBKM, Komisi X merumuskan Peta Jalan Pendidikan. Peta itu tidak bisa dipakai kalau UU tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tidak diubah,” ungkap legislator dapil Jawa Tengah IV itu. (mh/sf)