Umum  

Peningkatan Kejahatan Keuangan Berbasis Digital di Indonesia: Edukasi dan Tindakan Pencegahan Menjadi Fokus

Situs Cekrekening milik Kemenkominfo yang dibuat untuk menanggulangi penipuan online. IST/Indonesia.go.id

Seremonia.id – Kejahatan berbasis digital semakin merajalela di tengah kemajuan teknologi informasi dan ekonomi digital. Indonesia, seperti negara-negara lain di seluruh dunia, tidak luput dari dampak negatif perkembangan ekonomi digital yang juga memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru. Dalam sebuah kisah mengejutkan, seorang pensiunan pegawai bank swasta di Jakarta, Tri Sutriawan, menjadi korban modus penipuan digital yang menyebabkan hilangnya uang pensiun senilai Rp150 juta dalam waktu singkat.

Kisah Tri dimulai ketika ia sedang dalam perjalanan menuju Jakarta dengan menggunakan bis kota dan menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Tanpa cukup memeriksa atau mempertimbangkan, Tri membuka pesan tersebut dan mengikuti instruksi di dalamnya. Pesan tersebut memintanya untuk menjawab dengan persetujuan terkait perubahan biaya transaksi, yang tampaknya berkaitan dengan dana yang disimpan di bank. Tri tanpa curiga mengisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pengirim pesan tersebut.

Namun, tindakan ini ternyata membuka pintu bagi penipu digital untuk mengakses data pribadi Tri dan akhirnya mendapatkan akses ke rekening banknya. Dalam hitungan detik, dana senilai Rp150 juta dari pensiunnya raib tanpa jejak. Tri pun menyadari kecerobohannya dan kehilangan uang hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun dalam sekejap.

Kasus serupa semakin banyak terjadi di Indonesia. Frederica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pusat Edukasi dan Perlindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengungkapkan bahwa korban kejahatan jasa keuangan berbasis digital semakin banyak. Dalam sebuah forum, Frederica menyoroti pentingnya literasi keuangan dan edukasi masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dari kejahatan ini.

Data menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai sekitar 49,6 persen, dan literasi terhadap keuangan digital bahkan hanya sekitar 3,5 dari skala 5. Kesadaran masyarakat terhadap risiko dan tindakan penipuan digital menjadi faktor penting dalam memerangi kejahatan ini. Oleh karena itu, edukasi menjadi kunci utama dalam melindungi masyarakat dari ancaman ini.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menggarisbawahi pentingnya literasi dan inklusi keuangan digital untuk melindungi masyarakat dari modus-modus penipuan yang semakin canggih. Budi menekankan bahwa edukasi dan kesadaran masyarakat tentang risiko dan tindakan penipuan digital akan menjadi kunci dalam mengatasi dampak negatif dari kejahatan keuangan digital. Selain itu, kerja sama lintas kementerian dan lembaga menjadi hal penting dalam memerangi kejahatan ini. Salah satu langkah konkrit yang diambil adalah peluncuran portal CekRekening.id, yang memungkinkan masyarakat melaporkan nomor rekening yang digunakan untuk penipuan.

Meskipun tantangan dalam memerangi kejahatan digital masih ada, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) nomor 4 tahun 2023 telah memberikan angin segar. Undang-undang ini memperkenalkan sanksi yang lebih tegas terhadap aktivitas keuangan ilegal, termasuk denda hingga Rp1 triliun dan hukuman penjara 5 hingga 10 tahun.

Dalam menghadapi kejahatan keuangan berbasis digital yang semakin berkembang, literasi keuangan, pengawasan pasar, layanan pengaduan konsumen, dan penanganan investasi ilegal menjadi elemen penting dalam upaya perlindungan masyarakat dan konsumen. Meskipun perjalanan menuju pemberantasan kejahatan digital ini masih panjang, tekad pemerintah dan kesadaran masyarakat menjadi dua kekuatan yang sangat penting untuk mengatasi tantangan ini.

Seiring dengan terus berkembangnya teknologi, perlunya edukasi yang lebih mendalam dan kolaborasi lintas sektor semakin mendesak. Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat memitigasi risiko kejahatan keuangan digital dan melindungi masyarakat serta konsumen dari ancaman ini.