Jakarta – Pasca meluasnya pandemi Covid-19 di Indonesia, situasi perekonomian terkendala. Bahkan berbagai industri mengalami guncangan hebat. Ketidakstabilan ekonomi terjadi. Apalagi saat beberapa peraturan yang melaksanakan pembatasan sosial dilakukan, gejolak perekonomian seolah berhenti tanpa gairah. Pengaruh tersebut memaksa banyak industri melakukan pembiasaan demi mengatasi kerugian.
Namun, di penghujung 2021, yang disebut sebagai tahun perbaikan ekonomi, stabilitas ekonomi dan sistem keuangan telah kembali membaik dan terjaga. Hal ini dikuatkan dengan capaian pada Triwulan II dan III, yang mengindikasi telah terjadi pertumbuhan ekonomi dengan menunjukkan ekspansi masing-masing 7,07% dan 3,51% year on year. Sementara itu, dari sektor kredit per Oktober 2021 tumbuh sebesar 3,24% year on year dengan risiko kredit yang masih berada dalam rentang aman.
Data-data di atas juga direspons positif dalam diskusi Market Outlook 2022 yang diselenggarakan oleh Moduit di Jakarta, Kamis 27 Januari 2022. Dalam diskusi tersebut, salah satu pembicara, Manuel Adhy Purwanto, Investment Connoisseur Moduit, menyatakan bahwa pada 2022, pasar global dan domestik terlihat positif menuju pertumbuhan ekonomi yang baik dibandingkan pada tahun lalu yang dipenuhi dengan dinamika global dan domestik.
Analisis Manuel merujuk pada situasi 2020 lalu, yang mengalami kontraksi ekonomi akibat masuknya Covid-19 dan menjadi pandemi, sehingga pada 2021, semua pihak tertuju dan fokus kepada pemulihan ekonomi. “Hingga kemudian pada 2022 ini, pemerintah akan kembali fokus kepada pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan berada di kisaran 5%, tentunya ini menjadi angin segar dalam konteks market outlook 2022,” tuturnya menambahkan.
Menurut Manuel, tren positif pertumbuhan ekonomi sudah berjalan. Salah satunya, selama hampir dua tahun terakhir terjadi peningkatan harga komoditas yang mendorong kenaikan ekspor. “Konsumsi masyarakat juga terus mengalami perbaikan, dimana sektor konsumsi masih menjadi penopang 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kami melihat ada peningkatan belanja online selama pandemi hingga dua kali lipat. Sedangkan belanja offline juga terus mengalami peningkatan, meskipun belum pulih, ini merupakan fakta bahwa 2022 bisa lebih berkembang,” katanya.
Meski begitu, Manuel melihat bahwa tantangan perekonomian 2022 adalah Inflasi yang masih tinggi. “Terutama di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, sehingga akan terjadi pengetatan moneter. Bank sentral Amerika Serikat juga berencana akan menaikan suku bunga di bulan Maret dan Mei dengan masing-masing sebesar 0,25%. Ini yang kami lihat sebagai bentuk dinamika yang akan terjadi ke depannya,” ujarnya.
Namun, berdasarkan pengalamannya, dalam kondisi ekonomi seperti itu, semua pihak, khususnya investor domestik tetap harus belajar dari pengalaman sebelumya dalam mengakselerasi tantangan tersebut. “Kami di Moduit menekankan pentingnya alokasi aset dalam berinvestasi. Dan investor harus dapat memahami instrumen investasinya. Jangan hanya ikut–ikutan tren atau rekomendasi orang tanpa bekal analisa dan pengalaman yang cukup di bidangnya,” ujarnya.
Di lain sisi, Manuel juga menuturkan bahwa investasi yang dapat bertumbuh positif dan menarik pada 2022 antara lain ialah saham dan obligasi. “Saham masih akan menarik tahun ini, namun faktor fundamental akan berperan penting di dalamnya. Selain itu obligasi pemerintah atau korporasi yang memiliki track record dan rating yang bagus. Sebab pada jangka pendek juga masih dapat menjadi pertimbangan dimana suku bunga deposito juga masih rendah karena tingginya likuiditas di pasar,” ujarnya.
Pembicara lainnya dalam diskusi Market Outlook 2022, yakni Direktur Batavia Prosperindo Aset Manajemen (BPAM), Eri Kusnadi, juga menilai bahwa pasar cenderung merespons positif kelanjutan pemulihan perekonomian pada tahun 2022 ini, bahkan diperkirakan PDB Indonesia tahun ini akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Menurutnya, tren pemulihan ekonomi telah terjadi sejak tahun 2021 lalu. Ini terlihat dari meningkatnya pertumbuhan di berbagai sektor industri secara nasional.
“Beberapa hal yang akan menopang perekonomian di tahun ini adalah kembalinya belanja modal dari berbagai perusahaan di seluruh dunia setelah mengalami penurunan yang signifikan akibat pandemi. Selain itu juga lebih lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun lalu, yang kemudian membuat ruang pertumbuhan lebih lanjut di tahun ini menjadi lebih besar hingga 4,5-5,0%,” ujarnya.
Namun demikian, Eri juga mengingatkan potensi risiko yang masih mungkin terjadi di tengah pandemi yang masih berlangsung saat ini. Secara khusus tentang kemungkinan hadirnya varian baru dari Covid-19 yang dapat berpotensi menunda atau menghambat laju pemulihan ekonomi domestik dan dunia. Lebih lanjut Eri menambahkan tingginya tingkat inflasi di AS telah membuat The Fed (Bank Sentral AS) terpaksa melakukan normalisasi kebijakan moneter yang lebih cepat dan lebih ketat.
“Dengan proses pembelajaran dari PPKM darurat pertengahan tahun lalu, serta kondisi makro dan fundamental yang lebih baik, saya berharap kita dapat menghadapi risiko-risiko tersebut dengan lebih baik,” pungkas Eri.
Pada kesempatan ini juga BPAM dan Moduit menyampaikan rencana distribusi reksa dana terbaru yang bernama Batavia Disruptive Equity, yang akan memfokuskan investasinya pada saham-saham disruptive yang sering juga disebut atau dikaitkan dengan saham-saham new economy. Reksa Dana Batavia Disruptive Equity ini sudah diluncurkan oleh BPAM sejak Desember 2021 dan akan tersedia di aplikasi Moduit pada Februari 2022.