Yogyakarta – Kedelai nasional yang dibudidaya oleh petani lokal memiliki potensi untuk diolah dan dikembangkan menjadi primadona melalui branding, sehingga akan memberikan keuntungan ekonomi baik kepada petani maupun pelaku usaha agribisnis. Syaratnya adalah
paradigma lama pola pikir tentang kedelai yang hanya diolah jadi tempe dan dijual dipasar maupun diwarung warung kecil, diubah dengan membranding tempe hingga dijual dicafe dan memiliki gengsi tersendiri, tentunya dengan proses pengolahan yang higenis dan packaging yang menarik. Sedangkan jika diolah dan langsung dijual hanya memberikan sedikit keuntungan.
“Nilai tambah produk hasil olahan hanya memberikan peningkatan 5% pendapatan, untuk meningkatkannya, maka pendekatannya adalah komoditas di branding, branding jauh memberikan keuntungan yang lebih besar, analoginya, jika beli kopi sekilo harga 50.000, jika kita ke cafe secangkir kopi diharga 50 ribu artinya yang kita beli adalah brand. Nah yang saya inginkan demikian juga, untuk tempe dari kedelai lokal dinaikan statusnya diolah, packaging dan dibranding, sehingga memiliki nilai jual yang tinggi kata Direktur Jenderal Tanaman Pangan Gatot Irianto di Festival Produk Olahan Kedelai Nasional yang diselenggarakan di Jogya Expo Center (10/12).
Gatot menambahkan, “saatnya kita angkat kedelai lokal pendekatannya adalah kita jualan brand. Elit, terbatas dan ini semakin akan dicari orang. Yang harus dilakukan adalah diolah secara higenis, dipackaging yang menarik dan kemudian di branding. Jadi berbicara peningkatan pendapatan maka kita harus jualan brand. Kedelai lokal ini yang akan kita branding,”.
Sementara itu mewakili Gubernur DIY, Assisten Bidang Keistimewaan , Didiek Purwadi mengatakan, kedelai lokal mempunyai peluang besar karena ada perubahan pola makan masyarakat dari hewani ke nabati, ini peluang bagi dunia usaha dibidang pangan olahan”.