Harapan Merdeka Seutuhnya dari Kekerasan Seksual Bagi Perempuan dan Anak di Indonesia

Jakarta (30/8) Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka namun kemerdekaan itu belum sepenuhnya terwujud karena kaum perempuan dan anak di Indonesia masih banyak menjadi korban kekerasan seksual. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018) yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terdapat 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Di samping itu, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan hingga Juli 2020 angka korban anak terbanyak adalah korban kekerasan seksual.

“Kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat serius. Kita merdeka seharusnya tidak hanya secara fisik terbebas dari kolonialisme, tapi juga bagaimana kita merdeka secara lahir dan batin, bermartabat, memiliki kelayakan hidup, sejahtera, bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Kekerasan seksual juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama pada nilai kemanusiaan. Maka, ketika masyarakat Indonesia masih mengalami kekerasan seksual, maka bangsa kita masih jauh dari kemerdekaan yang seutuhnya,” tegas Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Fanda Puspitasari dalam Webinar yang bertemakan 75 Tahun Merdeka: Indonesia Maju Tanpa Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Gerakan Cipayung Plus yang terdiri dari organisasi gerakan mahasiswa GMNI, PMKRI, KOHATI, KMHDI, LMD, PMII, HIKMAHBUDHI, IMM (29/8).

Read More

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar mengatakan upaya negara untuk melindungi anak diantaranya melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut merupakan peringatan bahwa kekerasan seksual harus menjadi perhatian bersama, bahkan dari sisi yuridis pun dilakukan pemberatan hukuman bagi pelakunya.

“Pemberatan hukuman dilakukan terutama ketika pelaku kekerasan seksual adalah orangtua, wali, pengasuh anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga oleh anak, tenaga pendidik, serta aparat yang menangani perlindungan anak. Penegasan pemberatan hukuman lainnya adalah apabila pelaku pernah dipidana dan korban kekerasan seksual lebih dari 1 (satu) orang, serta mengakibatkan luka berat. Ketika ada unsur tersebut, maka ancamanannya hingga hukuman pidana mati. Pemberatan tersebut juga dilakukan melalui 3 (tiga) hal, yakni pemberian tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan pengumunan identitas pelaku,” jelas Nahar.

Ketua Korps Putri Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (KOPRI PB PMII), Septi Rahmawati mengajak generasi muda, utamanya mahasiswa untuk turut serta melakukan pendampingan kepada korban kekerasan seksual di sekitarnya.

“Tidak semua korban kekerasan seksual berani melapor. Walaupun berani melapor, mereka masih saja ada yang mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. Ada beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, bahkan di lingkungan mahasiswa yang tidak sampai ke ranah hukum, namun hanya diselesaikan secara kekeluargaan. Selain diharapkan turut serta mendampingi korban kekerasan seksual di sekitarnya, saya juga berharap mahasiswa mampu turun langsung mengedukasi keluarga dan masyarakat terkait kekerasan seksual. Mari kita wujudkan Indonesia merdeka seutuhnya tanpa kekerasan dan penindasan,” ungkap Septi.

Dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 juga menimbulkan kekecewaan bagi kaum mahasiswa. Ketua Departemen Kajian dan Isu Pimpinan Pusat (PP) Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Nanda Rizka Saputri mendorong agar para pemangku kebijakan mengeluarkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat, yakni dengan segera mengesahkan RUU PKS.

“Terkait RUU PKS, ada 2 (dua) hal yang harus kita bicarakan, yakni terkait keberpihakan dan orientasi para pemangku kebijakan. Kita harus mengeluarkan kebijakan karena kita sayang dan berpihak terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan masyarakat kita. Ingat, masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak ditangani secara tepat, bahkan justru mendapat stigma negatif dari masyarakat di sekitarnya,” ujar Nanda.

Nanda menambahkan tidak semua pelaku kekerasan bisa jera hanya dengan hukuman fisik, seperti dengan dikebiri, dipenjara, atau dengan hukuman denda. Hal yang membuat pelaku melakukan tindakannya tersebut adalah pikirannya, yang didorong oleh lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya, dalam hal ini penting bagi institusi pendidikan untuk mempersiapkan kurikulum terkait pendidikan kesehatan reproduksi yang selama ini masih dianggap tabu dan hampir tidak pernah diperbincangkan di ranah akademis.

“Salah satu kunci terkait RUU PKS adalah ketika kita mampu membayangkan ketika anak-anak, ibu, atau saudara-saudara kita dihadapkan pada kekerasan seksual. Mungkin saat ini keluarga terdekat kita aman dari kekerasan seksual. Namun, siapa yang bisa menjamin jika esok hari mereka aman dari kekerasan seksual yang belum ada aturan hukumnya? Oleh karenanya, kita semua harus bersama-sama mendorong pembahasan terkait RUU PKS. Perjuangan kita belum selesai kawan-kawan. Kita berharap dengan 75 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa kita bisa menuju terbebas dari kekerasan seksual,” tutup Nahar.

Related posts

Leave a Reply