Jadi Pionir Industri 4.0, Kemenperin Fokus Kembangkan Sektor Kimia

Kementerian Perindustrian semakin memacu pengembangan industri kimia di dalam negeri dengan mendorong pemanfaatan teknologi terbaru serta peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan. Upaya ini sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 agar industri kimia lebih efisien, inovatif, dan produktif dalam memasuki era revolusi industri generasi keempat saat ini.

“Pemerintah telah menetapkan industri kimia sebagai salah satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Indonesia, selain industri tekstil, otomotif, elektronika, serta makanan dan minuman,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartato saat melakukan kunjungan kerja di PT Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, Sabtu (7/7).

Menurut Menperin, industri kimia nasional tengah difokuskan pengembangannya agar lebih berdaya saing global. Pasalnya, sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, serta berperan penting sebagai penghasil bahan baku untuk kebutuhan produksi industri lainnya. “Pada tahun 2017, industri kimia menjadi salah satu sektor penyumbang utama terhadap PDB nasional sebesar Rp236 triliun,” ungkapnya.

Untuk itu, Menperin memberikan apresiasi kepada seluruh industri petrokimia yang beroperasi di Kaltim Industrial Estate (KIE) yang telah berkomitmen mendukung pembangunan industri nasional.Klaster industri petrokimia pertama di Indonesia ini sudah berjalan lebih dari 30 tahun, yang dimulai dengan berdirinya PT. Pupuk Kaltim pada tahun 1977.

“Dengan lokasi industri petrokimia di Bontang yang berada dalam kawasan timur Indonesia, keberadaan industri-industri ini tentunya mendorong dalam mempercepat pemerataan pembangunan di Indonesia bagian timur,” ujarnya. Di samping itu, Menperin mendukung upaya pengembangan industri oleokimia berbasis minyak sawit di kawasan tersebut, yang diharapkan dapat terus ditingkatkan produksinya.

Hingga saat ini, sudah ada lima industri petrokimia yang berdiri di kawasan industri KIE Bontang dengan menghasilkan komoditas yang beragam, antara lain amoniak, pupuk urea, methanol, dan amonium nitrat. Kelima perusahaan tersebut, yakni PT Pupuk Kaltim, PT Kaltim Methanol Industri, PT Kaltim Parna Industri, PT Kaltim Nitrate Industri, dan PT Black Bear Resources Indonesia.

Direktur Utama PT Pupuk Kaltim (PKT) Bakir Pasaman mengatakan, pihaknya selaku produsen amoniak  dan urea ini optimistis dapat memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri dan berupaya untuk terus  ekspor. “Jadi, industri-industri dalam negeri yang memerlukan bahan baku, sebaiknya tidak pakai produk impor, tetapi tetap menggunakan hasil industri nasional yang juga unggul,” tuturnya.

Bakir menjelaskan, selama ini kinerja PKT mampu berkontribusi hingga 50 persen kepada pendapatan PT Pupuk Indonesia sebagai induk perusahaan. Saat ini, kapasitas produksi urea di PKT mencapai 3,4 juta ton per tahun dengan jumlah ekspor tahun lalu sebanyak 600 ribu ton. “Sedangkan, produksi amoniak di angka 2,8 juta ton per tahun yang dikonversi menjadi urea,” imbuhnya.

Lebih lanjut, PKT juga tengah melakukan pengembangan bisnis, antara lain membangun pabrik NPK Chemical berkapasitas 500.000 MTPY, kemudian melakukan kerja sama dengan PT Dahana untuk membangun pabrik amonium nitrat berkapasitas 75.000 MTPY.

Selain itu, bekerja sama dengan PTPN III untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 7.000 hektare dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton per jam. “Kami pun berencana mengembangkan industri methanol beserta produk turunannya,” kata Bakir.

Menurutnya, sesuai upaya pemerintah mendorong masuknya industri kimia nasional untuk menerapkan revolusi industri keempat yang tertuang di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, PKT mengaku siap dan telah mengimplementasikan beberapa program.

Langkah tersebut guna mendukung proses bisnis PKT dengan konsep internet of thing (IoT), di antaranya melaluienterprise resources planning (ERP), distribution  planning and control system (DPCS), penjualan pupuk online (Go Pupuk), serta precession agriculture (sistem pertanian digital).  

Kurangi defisit neraca

Pada kesempatan yang sama, Airlangga mengatakan, di tengah kondisi defisit neraca perdagangan, industri kimia seperti penghasil amonium nitrat berperan penting untuk mensubstitusi impor karena kapasitas produksinya sudah mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik. “Kami dorong domestic market lebih optimal, dan terus digenjot untuk ekspor,” ujarnya.

Terlebih lagi, Kemenperin aktif memacu pengembangan sektor-sektor industri yang berpotensi untuk meningkatkan nilai ekspor nasional. “Pemerintah telah menyusun solusi jangka menengah dan panjang, yakni melalui substitusi impor dan investasi, sedangkan jangka pendeknya seperti pembatasan impor amonium nitrat, karena industri di dalam negeri sudah mampu mencukupi,” jelas Menperin.

Menteri Airlangga juga mengungkapkan, klaster industri kimia di Bontang masih memiliki potensi besar  untuk pengembangan produk hilir seperti dimetil eter yang dapat digunakan sebagai sumber bahan  bakar pengganti LPG, pupuk majemuk berbasis amonium nitrat, soda ash, dan pupuk amonium klorida.

Selain itu, wilayah Kalimantan Timur juga memiliki prospek untuk pengembangan perkebunan sawit  sebagai sumber bahan baku bagi klaster industri berbasis oleokimia sebagai solusi dari menurunnya harga sawit yang cukup signifikan akhir-akhir ini sehingga dapat mengatasi defisit neraca perdagangan.

“Kemampuan pengembangan tersebut dapat diwujudkan dengan jaminan pasokan gas bumi untuk domestik, kebijakan kuota impor untuk produk unggulan tertentu serta sinergi dengan pengembangan riset teknologi,” paparnya.

Kemenperin mencatat, kebutuhan gas bumi untuk industri yang beroperasi di Bontang mencapai 452 MMSCFD atau sekitar 59 persen dari penggunaan gas bumi domestik di wilayah Kalimantan Timur. Hal ini perlu menjadi perhatian yang besar terhadap jaminan pasokan gas bumi jangka panjang dengan harga yang wajar.

“Sehingga bisa menjaga kelangsungan seluruh aktivitas industri tersebut agar dapat lebih berkembang dengan struktur yang kokoh dan berkelanjutan,” kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono.

Namun demikian, saat ini sekitar 804 MMSCFD gas bumi dari wilayah Kalimantan Timur masih diekspor ke luar negeri. Melihat kondisi tersebut dan memperhatikan pasokan gas alam yang cenderung terus menurun, Kemenperin memandang perlu pemanfaatan gas bumi yang diutamakan kepada industri di dalam negeri.

“Jadi, perlu menjaga agar tidak ada perpanjangan pasokan untuk kontrak penjualan gas bumi ke luar negeri. Dengan demikian, pasokan gas yang ada di Kalimantan Timur dapat diprioritaskan kepada kebutuhan domestik terutama kelangsungan industri petrokimia di Bontang,” tegas Sigit.

Related posts

Leave a Reply