Pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga kontinuitas produksi industri nasional agar mampu memenuhi kebutuhan di pasar domestik dan ekspor. Langkah strategis yang akan dijalankan, antara lain mempermudah akses terhadap ketersediaan bahan baku, pasokan energi, dan pemberian insentif.
“Akses ini yang perlu diperlancar sehingga mendorong kinerja manufaktur kita jadi semakin positif. Kementerian Perindustrian selama ini fokus dan konsisten memacu daya saing dan produktivitas industri dalam negeri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (1/11).
Menperin menegaskan, apabila aktivitas produksi di industri berjalan baik, efek ganda yang dibawanya akan berkontribusi pada peningkatan nilai tambah bahan baku, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari ekspor. Namun, upaya ini perlu koordinasi dan sinergi yang kuat dengan para pemangku kepentingan terkait.
“Kami telah memetakan segala macam kebutuhan di berbagai sektor. Seperti harga gas dan listrik yang lebih kompetitif. Ini sudah ada dalam bagian dari paket kebijakan ekonomi, supaya bisa cepat terealisasi agar pelaku industri tidak menunggu terlalu lama,” paparnya.
Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan, pihaknya telah membahas dengan Kementerian Keuangan terkait pemberian fasilitas guna mendongkrak permintaan pasar. “Misalnya di industri otomotif, salah satunya melalui penurunan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Termasuk juga insentif fiskal untuk industri padat karya berorientasi ekspor,” tuturnya.
Menurut Menteri Airlangga, potensi pasar ekspor saat ini masih cukup luas. Oleh karenanya, industri nasional perlu didorong untuk mengkombinasikan tujuan pemasaran produknya, selain membidik pasar domestik. “Pemerintah tengah berupaya menyelesaikan perjanjian-perjanjian internasional agar produk lokal yang kita andalkan untuk ekspor tidak terganggu. Pasalnya, ada beberapa produk kita yang terkena treatment pajak di luar negeri melalui Most Favoured Nation (MFN),” ungkapnya.
Namun demikian, Menperin optimistis terhadap daya saing industri nasional ke depannya dapat lebih kompetitif di kancah global. Selain itu, manufaktur mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi perekonomian nasional. “Pemerintah telah memberikan kemudahan pelayanan dan perizinan bagi para investor dalam menjalankan usahanya di Indonesia,” tegasnya.
Dalam laporan tahunan yang dirilis Bank Dunia terkait peringkat Ease of Doing Business (EoDB) 2018, peringkat kemudahan berusaha Indonesia di 2018 secara keseluruhan naik 19 peringkat dari posisi ke-91 menjadi posisi 72 dari 190 negara yang disurvei. Pada EoDB 2017, posisi Indonesia juga meningkat 15 peringkat dari 106 menjadi 91. Tercatat dalam dua tahun terakhir posisi Indonesia telah naik 34 peringkat.
Menperin meyakini, kenaikan peringkat ini akan mendorong para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesua karena iklim investasinya semakin membaik.Selain itu, peringkat manufaktur Indonesia terutama untuk value added atau nilai tambah berada di peringkat ke-9 di dunia. Capaian ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya.
“Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang kontribusi industri manufakturnya cukup signifikan terhadap PDB,” imbuhnya. Indonesia mampu menyumbangkan hingga mencapai 22 persen atau menempati posisi keempat di dunia setelah Korea Selatan (29 persen), Tiongkok (27 persen), dan Jerman (23 persen).
Serapan tenaga kerja
Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar mengatakan, berdasarkan data BPS terkait jenis lapangan pekerjaan utama pada Februari 2017, sektor industri memberikan kontribusi sebesar 13,31 persen atau sebanyak 16,6 juta orang dari total tenaga kerja sebanyak 124,5 juta orang.
“Kontribusi tenaga kerja sektor industri didominasi oleh industri makanan sebanyak 3.316.186 orang atau sebesar 21,34 persen,” ujarnya. Kemudian, disusul industri pakaian jadi sebanyak 2.167.426 orang atau sebesar 13,95 persen, industri kayu gabus sebanyak 1.359.098 orang atau sebesar 8,98 persen, dan industri tekstil sebanyak 1.248.080 atau sebesar 8,03 persen.
Haris menegaskan, industri saat ini membutuhkan tenaga kerja terampil sesuai perkembangan teknologi terkini. Untuk itu, Kementerian Perindustrian tengah fokus dalam program pembangunan kompetensi sumber daya manusia melalui pelaksanaan pendidikan vokasi yang Link and Match antara Sekolah Menengah Kejuruan dengan industri.
“Kami juga telah melakukan pelatihan tenaga kerja industri dengan sistem 3in1 (pelatihan, sertifikasi dan penempatan kerja) serta penyelenggaraan politeknik atau akademi komunitas di kawasan industri dan wilayah pusat pertumbuhan industri (WPPI),” paparnya.
Merujuk data Asian Productivity Organization (APO), produktivitas tenaga kerja Indonesia di kawasan Asia Tenggara dinilai cukup baik dibanding dengan negara ASEAN lainnya seperti Filipina, Laos, Vietnam, Myanmar dan Kamboja.
“Dalam meningkatkan daya saing, Kemenperin telah melakukan berbagai kebijakan untuk pembangunan industri nasional melalui pengembangan implementasi industri 4.0 serta pengembangan e-smart IKM,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengutarakan, pihaknya juga bertekad memacu hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. “Program hilirisasi industri berbasis agro dan tambang mineral telah menghasilkan berbagai produk hilir antara lain turunan kelapa sawit, stainless steel, dan smartphone,” jelasnya.
Kapasitas produksi kelapa sawit dan turunannya pada tahun 2017 meningkat menjadi 60,75 juta ton dibanding tahun 2014 yang mencapai 49,7 juta ton dan ditargetkan pada dua tahun ke depan sebesar 65 juta ton. Untuk jumlah ragam produk hilir kelapa sawit, pada tahun 2014 sekitar 126 produk, periode 2015-2017 meningkat menjadi 154 produk, dan ditargetkan tahun 2018-2019 lebih dari 170 produk. Demikian juga rasio ekspor produk hulu-hilir kelapa sawit, meningkat dari 34 persen CPO dan 66 persen turunannya menjadi 22 persen CPO dan 78 persen produk turunan kelapa sawit.
Di sektor logam, terjadi peningkatan hilirisasi yang juga signifikan, di mana pada periode tahun 2015-2017 telah berproduksi industri smelter terintegrasi dengan produk turunannya berupa stainless steel dengan kapasitas dua juta ton dan diprediksi akan terus meningkat hingga tiga juta ton pada akhir tahun 2019, jika dibandingkan dengan tahun 2014 hanya mencapai 65 ribu ton produk setengah jadi berupa ferro nickel dan nickel matte.
Sementara itu, kapasitas produksi smartphone pada periode tahun 2015-2017 meningkat menjadi 26,55 juta unit dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 18,65 juta unit. Produksi semen pada tahun 2015-2017 juga naik menjadi 112,97 juta ton dibading tahun 2014 sebesar 69,45 juta ton.