Laporan Future Health Index2021 Philips ungkap ambisi Asia-Pasifik Guna transformasi digital

Jakarta, Indonesia – Royal Philips (NYSE: PHG, AEX: PHIA), pemimpin global di bidang teknologi kesehatan, baru-baru ini mengumumkan laporan Future Health Index 2021: ‘A Resilient Future: Healthcare leaders look beyond the crisis’ (Masa Depan yang Tangguh: Pemimpin industri kesehatan melihat ke depan melampaui krisis)Di tahun ke-6, laporan Future Health Index 2021 didasari penelitian eksklutif di 14 negara, termasuk kawasan Asia Pasifik (Australia, China, India, dan Singapura), yang mewakili survei global terbesar di industri kesehatan untuk menganalisis prioritas para pemimpin di industri layanan kesehatan di seluruh dunia, baik saat ini maupun di masa depan.

Tanggapan dari para pemimpin layanan kesehatan – termasuk staf eksekutif, keuangan, teknologi dan informasi, operasional dan banyak lagi – mengeksplorasi tantangan yang mereka hadapi sejak awal pandemi, dan di mana prioritas saat ini dan di masa depan. Hal ini mengungkap visi baru untuk masa depan layanan kesehatan. Dengan fokus pada layanan kesehatan yang berpusat pada pasien dan didukung oleh teknologi pintar, visi mereka dibentuk oleh penekanan baru pada kemitraan, keberlanjutan dan model baru pada pemberian perawatan, baik di dalam maupun di luar rumah sakit.

Read More

Seperti negara-negara yang disurvei, Indonesia juga menemukan visi serupa. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mendorong percepatan digitalisasi layanan kesehatan selama pandemi ini, terutama melalui telehealth.

“COVID-19 telah membuktikan bahwa pemberian layanan virtual dan perawatan jarak jauh itu memungkinkan, sehingga kami juga berharap ini menjadi fokus prioritas bagi Indonesia,” komentar Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Indonesia. “Telehealth dapat sangat bermanfaat bagi populasi yang besar dan beragam seperti di Indonesia, terutama dalam meningkatkan akses perawatan untuk masyarakat di wilayah terpencil.”

Prof. Hananiel Prakasya Wijaya, CEO National Hospital Surabaya, menyebutkan bahwa selama pandemi, masyarakat tidak lagi memprioritaskan pertemuan tatap muka tetapi beralih ke cara lain untuk memberikan atau menerima layanan kesehatan. “Kami telah mengadopsi teknologi telehealth sejak dini, dan dengan adanya pandemi ini penggunaan telekonsultasi dan layanan digital kami semakin berkembang secara eksponensial dan menjadi prioritas utama. Namun, kami telah belajar bahwa telehealth bukan pengganti layanan kesehatan dasar, tetapi merupakan pelengkap sehingga keduanya menjadi suatu sinergi.”

Prof. Wijaya memiliki pandangan yang juga mencerminkan hasil survei dari negara lain terhadap peran penting tenaga kesehatan, tetapi dari sisi kuantitas dan kualitas. Ia juga menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam mempercepat adopsi layanan kesehatan digital terletak pada masyarakatnya.

“Mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya dalam memberikan perawatan harus menjadi prioritas utama kami. Memiliki strategi inovatif dan selalu menanamkan perubahan adalah bagian dari budaya dalam bekerja di National Hospital, sehingga adopsi layanan kesehatan digital bisa diterapkan dengan lebih mudah. Teknologi bisa dibeli dan diadopsi, tetapi mengubah budaya harus berhasil dijalankan sebelum digitalisasi dapat dilaksanakan,” pungkasnya.

Pandangan yang beragam

Menurut laporan Philips, hampir tiga perempat (72%) pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik yakin dengan kemampuan rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan mereka untuk memberikan layanan berkualitas dalam tiga tahun ke depan. Meskipun ini sangat positif mengingat tantangan dari pandemi, tingkat kepercayaan Asia-Pasifik sedikit di bawah rata-rata (75%) pemimpin layanan kesehatan di 14 negara yang disurvei Philips.

Laporan Future Health Index 2021 juga mengungkapkan perbedaan signifikan dalam optimisme di kawasan Asia-Pasifik. Lebih banyak pemimpin layanan kesehatan di Singapura yang merasa percaya diri dibandingkan dengan mereka di China (58%) dan Australia (66%).

“Sistem layanan kesehatan Asia-Pasifik secara umum telah menunjukkan ketahanan dalam menanggapi pandemic ini, tetapi ketika menyangkut kepercayaan tentang masa depan, kami melihat pandangan yang beragam, dan Singapura lebih unggul dari negara-negara lain di Asia,” kata Caroline Clarke, Market Leader dan EVP Philips ASEAN Pacific. “Meskipun menanggapi krisis akan terus menjadi prioritas bagi banyak pemimpin layanan kesehatan dalam beberapa bulan mendatang, penting juga bagi mereka untuk melihat ke masa depan untuk memastikan bahwa mereka tidak tertinggal dalam peningkatan teknologi dan bergerak menuju digitalisasi layanan kesehatan.”

Adanya peningkatan antisipasi pemberian perawatan di luar rumah sakit, tetapi beberapa negara saat ini belum memprioritaskan perawatan virtual

Pandemi COVID-19 telah mempercepat pergeseran dalam pemberian perawatan untuk pasien dan penyedia layanan di seluruh dunia. Laporan Future Health Index 2021 mengungkapkan bahwa di saat para pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik mempertimbangkan apa yang akan terjadi berikutnya, banyak yang pragmatis tentang di mana dan bagaimana perawatan diberikan.

Para pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik memperkirakan dalam tiga tahun mendatang, rata-rata sekitar seperempat (25%) layanan kesehatan rutin akan diberikan di luar rumah sakit atau fasilitas kesehatan, naik dari 22% saat ini.

Meskipun demikian, prioritas layanan virtual tidak merata di seluruh wilayah. Para pemimpin layanan kesehatan di India termasuk yang paling mungkin dari semua negara yang disurvei untuk memprioritaskan transisi ke perawatan jarak jauh/virtual (75%) – jauh melampaui tanggapan rata-rata para pemimpin layanan kesehatan di 14 negara yang disurvei (42%). Namun, negara-negara di kawasan Asia-Pasifik lainnya masih tertinggal dalam memprioritaskan layanan virtual, yaitu Singapura (40%), China (32%) dan Australia (27%).

Dampak dari COVID-19 kemungkinan telah mengalihkan perhatian para pemimpin layanan kesehatan di Asia-Pasifik dari fokus untuk menjadikan perawatan jarak jauh/virtual, dengan lebih dari setengah (60%) mengatakan bahwa persiapan untuk menanggapi krisis adalah prioritas utama mereka saat ini dan 58% menyebut pandemi sebagai faktor eksternal utama yang menghambat kemampuan mereka untuk merencanakan masa depan.

Ada juga kesenjangan regional dalam hal bagaimana dan di mana layanan virtual akan diberikan di masa depan. Singapura sedang membuka jalan untuk mengalihkan perawatan rutin dari rumah sakit ke lingkungan rumah – sementara mereka yang disurvei di Singapura mengatakan bahwa hanya 19% perawatan rutin yang diberikan di luar rumah sakit, saat ini dilakukan di rumah mereka. Para responden memperkirakan bahwa tiga tahun dari sekarang, 45% dari perawatan rutin dapat diberikan di rumah. Ini merupakan target berani yang jauh lebih tinggi dari rata-rata Asia-Pasifik[1] (18%).

Sebagai perbandingan, meskipun para pemimpin layanan kesehatan sangat memprioritaskan transisi ke perawatan jarak jauh/virtual di India, hanya 5% yang melihat rumah sebagai lokasi utama untuk pemberian perawatan rutin dalam tiga tahun mendatang. Sebaliknya, sebagian besar merasa bahwa yang akan menjadi fokus di India adalah fasilitas layanan kesehatan primer untuk rawat jalan seperti perawatan darurat dan klinik rawat jalan (57%), serta fasilitas prosedural di luar rumah sakit yang sudah umum, seperti pusat bedah rawat jalan dan laboratorium berbasis kantor (33%).

Analitik prediktif adalah fokus utama untuk masa depan, tetapi kesenjangan keahlian harus ditangani terlebih dahulu

Para pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik berada di urutan kedua setelah Eropa dalam hal memperjuangkan analitik prediktif; 27% pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik setuju bahwa rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan mereka perlu berinvestasi dalam menerapkan teknologi prediktif, seperti kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin sebagai persiapan untuk masa depan. Angka ini masih di bawah Eropa (36% ) tetapi jauh di atas Timur Tengah & Afrika (6%).

Investasi untuk AI oleh di Asia-Pasifik saat ini difokuskan terutama untuk tugas-tugas administratif seperti mengotomatisasi dokumentasi, menjadwalkan janji-temu, dan meningkatkan alur kerja, belum berfokus pada aplikasi klinis dan diagnostik. Namun, ini tampaknya akan berubah dalam waktu dekat karena para pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik ingin berinvestasi dalam AI untuk memprediksi hasil (33%) dan untuk dukungan keputusan klinis (26%) dalam tiga tahun.

Terlepas dari ambisi ini, kurangnya pengalaman dan kekurangan staf dapat menghambat kemajuan jika tidak segera ditangani. Kurangnya staf yang berpengalaman dengan teknologi baru menjadi salah satu hambatan internal teratas dalam mempersiapkan masa depan. Sekitar setengah dari pemimpin layanan kesehatan (51%) menyebutnya sebagai hambatan mereka saat ini, sementara satu dari empat (26%) mengatakan bahwa kekurangan staf menjadi tantangan mereka.

Hampir sepertiga (30%) menyebut kurangnya pelatihan sebagai salah satu hambatan terbesar untuk adopsi teknologi kesehatan digital yang lebih luas, di samping kesulitan manajemen data (41%) yang kemungkinan disebabkan oleh volume data yang tinggi serta kurangnya kejelasan terkait kepemilikan data.

“Pandemi telah membuktikan kelayakan perawatan jarak jauh, tetapi dengan adanya krisis yang harus ditangani saat ini, banyak pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik yang belum menjadikan layanan kesehatan jarak jauh sebagai prioritas. Di samping itu, kurangnya pengalaman dan keterampilan juga berisiko menghambat digitalisasi lebih lanjut di wilayah tersebut jika tidak segera ditangani. Sangat penting bagi para pemimpin layanan kesehatan Asia-Pasifik untuk berinvestasi dalam pelatihan yang tepat, sehingga mereka bisa memanfaatkan teknologi canggih ini lebih dari hanya aplikasi administratif untuk membuka potensi penuh mereka di masa depan,” tambah Caroline Clarke.

Industri siap untuk langkah keberlanjutan lebih jauh

Laporan Future Health Index 2021 juga menemukan bahwa penerapan praktik kelestarian lingkungan akan menjadi tren dominan dalam tiga tahun mendatang di Asia-Pasifik dan seluruh 14 negara yang disurvei.

Meskipun belum menjadi perhatian saat ini, 49% pemimpin layanan kesehatan berharap untuk memprioritaskan penerapan praktik keberlanjutan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan mereka dalam tiga tahun mendatang, naik dari hanya 5% saat ini.

Related posts

Leave a Reply