Program Studi Teknik Elektro UPH mengadakan workshop tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bertajuk “How to Design Solar Power System: From Rooftop to Microgrid System” pada Rabu (6/3) siang di B 550 UPH Kampus Lippo Village dengan pembicara Ir. Azhar Kamal, M. Eng., yang telah berpengalaman membangun sistem pembangkit bertenaga surya di berbagai daerah di Indonesia. Workshop ini berisi hal-hal praktis terkait perancangan sistem bertenaga surya, termasuk surya atap dan microgrid untuk daerah terpencil. Hal-hal yang dibahas termasuk perhitungan dan pemilihan perangkat dan pemahaman spesifikasi perangkat.
“Sudah menjadi kebutuhan dunia bahwa Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi tuntutan karena negara-negara maju sudah gencar menggunakannya. EBT ini salah satunya adalah PLTS. Indonesia ini termasuk terlambat. Maka ESDM sebagai tangan kanan pemerintah menekan seluruh masyarakat untuk beramai-ramai menggunakan PLTS,” papar Ir. Azhar Kamal.
Pemilik PT Sumber Cahaya Cemerlang Jakarta yang lama bekerja di Jepang ini sangat merekomendasikan penggunaan PLTS atap ini di Indonesia.
“Saya concerned sekali. Sekarang ada komunitas penggunaan rooftop solar panel yang beramai-ramai menggalakkan penggunaan PLTS ini. Anggota komunitas tsb. saling membantu, misalnya belum lama ini di Bali ada yang kesulitan melapor ke PLN setelah memasang sistem on-grid, komunitas ikut bantu.” tandas Ir. Azhar
Berdasarkan paparannya, beliau menjelaskan bahwa rooftop solar panel bermanfaat untuk menghasilkan energi listrik baik untuk mereduksi penggunaan listrik dari grid mau pun memasok energi listrik ke grid. Beliau juga menekankan bahwa jenis PLTS off grid yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sumber listrik lain sangat cocok untuk daerah terpencil yang belum ada jaringan listrik, terutama di area-area terpencil yang ada di Indonesia.
“Ke depannya solar panel semakin lama akan semakin murah. Dalam 8 tahun terakhir saja sudah mengalami penurunan 85%. Beberapa riset di Inggris pun menyatakan bahwa harga solar panel akan drop 50% lagi. Saat turun seperti itu, pertama, kita bisa berpartisipasi menurunkan karbon monoksida. Kedua, kita bisa mereduksi penggunaan listrik, di mana harga listrik sekarang sekitar Rp. 1400/kWh. Dengan ada ini kan praktis dan gratis. Matahari yang diberikan Tuhan kita manfaatkan betul-betul,” ujar beliau dengan yakin.
Saat ini pemerintah bersama dengan ESDM sedang merancang penggunaan tenaga listrik surya atap ini di Indonesia, mengingat penggunaan PLTS off grid menjadi solusi yang baik karena bisa menjawab kebutuhan listrik yang efisien tanpa menghasilkan bunyi seperti genset yang berisik, bahkan untuk daerah terpencil.
“Pemerintah sudah membangun pabrik baterai lithium di Morowali. Sistem Off grid nanti akan bertumbuh. Nantinya setiap rumah tangga akan membangun PLTS sendiri-sendiri, di mana harganya sudah sangat kompetitif, mengingat baterai sudah dimanufaktur oleh pemerintah dan solar panel mengalami penurunan harga, sehingga tidak menutup kemungkinan membuat PLTS dengan harga yang sama seperti membeli sepeda motor,” jelas beliau. “Listrik merupakan teknologi dasar yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Dengan adanya listrik itu, teknologi yang lain bisa dibangun. Nanti juga akan ada mobil dan motor listrik dengan solar charge sehingga tidak membutuhkan bensin. Dengan PLTS, tidak ada lagi ketergantungan dengan PLN, dan tidak ada Pertamina juga tidak masalah,” tambahnya.
Dengan adanya inovasi penggunaan tenaga surya ini, Ir. Azhar Kamal berharap para generasi milenial, khusus para lulusan Teknik Elektro UPH dapat mempersiapkan diri menghadapi trend untuk memajukan bangsa dan negara, salah satunya dengan melaksanakan penggunaan rooftop solar panel di Indonesia.
“Mahasiswa milenial inilah yang akan menjadi saksi atas revolusi penggunaan tenaga listrik surya atap ini,” tutupnya.
Namun, pemanfaatan sistem energi surya ini sedikit terganjal dengan keluarnya peraturan menteri ESDM no. 49 tahun 2018. Menurut Henri P. Uranus, Kaprodi Teknik Elektro UPH, adanya peraturan menteri tersebut, membuka peluang masyarakat turut berpartisipasi sebagai penghasil energi dengan memasang sistem pembangkit surya atap, namun kebijakan pemotongan nilai kWh yang diekspor masyarakat ke PLN menjadi hanya sebesar 65% dari nilai riilnya dirasakan sebagai kebijakan setengah hati. Diharapkan kebijakan ini bisa direvisi sehingga tidak mematikan gairah masyarakat terhadap energi surya.
Lebih lanjut menurut Henri, Teknik Elektro UPH sudah memasukkan materi kuliah mengenai energi surya melalui 1 pertemuan di mata kuliah Fotonik (dengan penekanan pada fisika solar sel) dan 2 pertemuan pada mata kuliah Elektronika Industri (dengan penekanan pada perancangan pembangkit sederhana, baik picosolar, solar PJU, maupun sistem kecil untuk rumah sederhana).
Diharapkan dengan demikian lulusan nanti tidak gagap dengan teknologi tersebut dan dapat memanfaatkannya untuk pekerjaannya. Teknik Elektro UPH bahkan dalam memperingati hari cahaya internasional bahkan sudah dan akan memberikan workshop pembuatan lentera solar dari bahan-bahan sederhana ke sekolah-sekolah menengah, dengan harapan siswa/i semakin tertarik pada teknologi tersebut dan mendapatkan efek ‘waw’ saat melihat lampu solar yang dibuatnya berfungsi. (