Selama Tahun 2021, Harga Produk Pangan di Nilai Terus Melonjak

Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menilai sepanjang tahun 2021, sejumlah barang pangan banyak diwarnai dengan fluktuasi harga komoditas pangan yang tidak terkendali. Menurutnya, harga komoditas pangan seringkali jatuh saat panen dan merugikan petani seperti jatuhnya harga gabah, harga jagung, cabai, bawang merah dan lain-lain.

“Selama tahun 2021 ini produk pangan yang bersumber dari impor seperti daging dan kedelai, harganya terus melonjak yang berakibat merugikan pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), serta merugikan konsumen karena daya beli yang semakin lemah pada masa pandemi ini,” kata Johan dalam keterangan pers yang diterima Parlementaria, Senin (3/12/2021).

Read More

Ia menggarisbawahi, sejak awal 2021 telah terjadi gejolak harga kedelai yang tidak terkendali dan kebijakan kenaikan HET pupuk bersubsidi yang terjadi pada awal tahun 2021. Johan menilai hal tersebut telah berdampak naiknya harga pangan sehingga pengeluaran rumah tangga terhadap pangan semakin meningkat dan menambah beban rumah tangga petani untuk melaksanakan kegiatan usaha taninya.

Di sisi lain, kata Johan, pemerintah terlihat tidak berdaya melakukan upaya  untuk meningkatkan produksi pangan karena keterbatasan anggaran. “Pada tahun 2021 ini telah terjadi pergerakan kenaikan harga minyak goreng yang terus melambung, padahal Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun,” paparnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyinggung bahwa pada awal tahun 2021 lalu pemerintah berencana melakukan impor 1 juta ton beras dan hal ini telah menimbulkan polemik serta penolakan luas dari komponen masyarakat. “Presiden Jokowi pun berjanji tidak akan melakukan impor beras namun kenyataannya realisasi impor beras mencapai 41.000 ton pada tahun 2021,” ungkapnya.

Johan juga menyoroti bahwa tahun 2021 belum ada kebijakan untuk mengurangi beban biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Sebagai contoh, lanjutnya, subsidi pupuk banyak yang tidak tepat sasaran serta tidak ada kebijakan harga yang diterima petani sebagai harga yang layak untuk meningkatkan nilai pendapatan petani terhadap komoditas pertanian yang dihasilkannya.

Johan menilai pemerintah belum mampu melakukan penyempurnaan sistem data dan informasi di lapangan agar akurasi kondisi pangan di lapangan terus terpantau. “Saya melihat pemerintah sangat lemah kinerjanya menjaga kondisi stok pangan, fluktuasi harga pangan dan distribusi pangan, sehingga situasi tahun 2021 dimana harga pangan terus melonjak tidak terkendali dan target produksi tidak tercapai,” lanjut Johan.

Johan juga menambahkan tahun 2021 banyak terdapat target produksi pangan yang lebih rendah dari tahun sebelumnya karena keterbatasan anggaran akibat pemotongan anggaran Kementerian Pertanian tahun 2021. Menurutnya penurunan produksi pertanian akan berdampak pada kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan, jika semakin melebar maka pemerintah hanya bisa meningkatkan kebutuhan impor sehingga ketergantungan impor terus meningkat setiap tahun.

Politisi dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I itu menyatakan, pemerintah telah terjebak pada program food estate yang banyak menyedot anggaran namun kesesuaian lahan masih bermasalah dan produktivitas yang belum teruji. “Saya melihat selama ini pemerintah tidak fokus memperhatikan pengembangan lahan pertanian produktif, terutama di Pulau Jawa yang luasnya terus menurun, serta tidak punya visi membangun kemandirian pangan nasional melalui program swasembada pangan,” pungkasnya. (hal/sf)

Related posts

Leave a Reply