Peserta Joint Summer Program UKDW dan STIKES Bethesda Belajar Memanen Air Hujan

Indonesia merupakan negara yang berada di daerah tropis dengan curah hujan tinggi, dan dikelilingi oleh pegunungan, sungai, danau dan lautan. Namun masih banyak penduduk yang belum terlayani air bersih dan jumlah warga yang tergantung air minum dalam kemasan meningkat.

Hal ini diungkapkan oleh   Romo V. Kirjito dalam Workshop on Water Sustainability di “Laboratorium Hujan” yang berlokasi di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada Kamis, 19 Juli 2018. Workshop ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dari Joint Summer Program yang terselenggara atas kerjasama Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dengan STIKES Bethesda yang mendapat dukungan dari Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti Kemenristekdikti) melalui Program Hibah Penguatan Kelembagaan Kantor Urusan Internasional (PKKUI) Tahun 2018.

Baca juga  FAD UKDW Kembali Selenggarakan SMART#3

Lebih lanjut, Kirjito menjelaskan bahwa air hujan adalah salah satu sumber kehidupan di bumi ini selain air dalam tanah, danau, sungai, dan lautan. Hujanlah yang rutin memasok air ke dalam tanah, danau, sungai, dan lautan. Secara tradisional, sebagian masyarakat Indonesia telah memakai hujan sebagai sumber air bersih utama, seperti masyarakat di Kalimantan, Flores, dan Papua. ”Namun, ada asumsi air hujan dianggap tak baik bagi kesehatan. Padahal, air hujan paling rendah kadar logam beratnya,” ujarnya.

Penelitian Kirjito, air hujan di Indonesia kandungan mineral terlarutnya (TDS/ total dissolved solid) di bawah 20 miligram per liter (mg/l). Padahal, TDS air kemasan banyak yang di atas 100 TDS. Versi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2006, TDS maksimum 500 mg/l. “Air hujan atau air langit, begitu saya menyebutnya, memiliki kualitas yang lebih baik daripada air kemasan. Pemahaman masyarakat akan air masih sangat minim. Jika kita diberi air yang melimpah, mengapa harus membeli air kemasan?” paparnya.

Baca juga  Cegah Masuknya Varian Baru Covid-19, Pemerintah di Minta Perketat Deteksi di Pintu Masuk

Peserta Joint Summer Program yang berasal dari lima negara yakni delapan orang dari Saint Paul University Filipina, lima orang dari Chang Jung Christian University Taiwan, dua orang dari Hanseo University Korea Selatan, dua orang dari Christ University India, lima orang dari UKDW Indonesia, dan lima orang dari STIKES Bethesda Indonesia tampak antusias dalam mengikuti workshop tersebut. Mereka diajak untuk mengukur kandungan mineral terlarut menggunakan alat pengukur Total Dissolved Solid (TDS).

Chung Hsin Hui, salah satu peserta yang berasal dari Chang Jung Christian University Taiwan, mengungkapkan dengan mengikuti workshop ini pengetahuannya akan air semakin bertambah. “Di negara kami, masyarakat menganggap air hujan tidak layak untuk dikonsumsi. Disebut-sebut asam, tak mengandung mineral, dan polusi. Setelah mengikuti workshop ini, pandangan saya berubah. Saya dapat melihat air hujan sebagai berkah Tuhan kepada manusia dan menjadi hak bagi manusia di muka bumi,” ungkapnya. Hal senada juga disampaikan oleh Joel Jose, peserta dari Christ University India, dirinya tertarik untuk melakukan eksperimen serupa dan berniat kembali lagi ke “Laboratorium Hujan” untuk menggali ilmu lebih dalam.