Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menilai pemerintah perlu memanfaatkan momentum kenaikan harga batu bara dalam rangka meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batu bara (minerba). Menurutnya, harga batu bara menyentuh level tertinggi sejak November 2011 seiring meningkatnya tingkat konsumsi di negara Asia.
“Seiring dengan mulai membaiknya perekonomian beberapa negara konsumen batubara terbesar dunia, seperti China dan Amerika Serikat, harga batu bara pada tahun 2021 melonjak drastis karena tingginya permintaan dari negara-negara tersebut,” kata Rofik dalam keterangan pers yang diterima Parlementaria, Kamis (8/7/2021).
Rofik mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 sampai saat ini telah memukul kinerja dunia usaha di Indonesia, salah satunya di bidang pertambangan minerba. Namun tercatat per Juli 2021, harga acuan batubara (HBA) kembali menguat dan mencapai 115,35 dolar AS per ton, jauh lebih tinggi daripada harga rata-rata di tahun 2020 sebesar 58,17 dolar per ton atau yang terendah sejak tahun 2015.
“Sebagai contoh produksi batubara yang mengalami penurunan 9,5 persen dari 616,16 juta ton pada tahun 2019 menjadi 557,54 juta ton di tahun 2020. Hal ini berdampak kepada PNBP sektor minerba, yang menurun signifikan sebesar 24,1 persen dari Rp45,59 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp34,6 triliun di tahun 2020,” terang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Akan tetapi, ujar Rofik, adanya kenaikan harga ini secara otomatis akan meningkatkan PNBP Minerba khususnya dari penjualan batubara secara keseluruhan pada tahun 2021 ini. Bahkan, lanjutnya, diperkirakan harga ini akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan seiring dengan upaya pemulihan ekonomi oleh negara-negara konsumen batubara lainnya.
“Kinerja produksi dari semua tambang harus dioptimalkan, namun tetap dalam kaidah-kaidah pertambangan yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai ketika produksi batubara dan mineral lainnya digenjot, justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah di wilayah sekitar tambang,” imbuh legislator dapil Jawa Tengah VII itu.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menetapkan harga batu bara acuan untuk Juli 2021 naik sebesar 15,02 dolar AS per ton menjadi 115,35 dolar AS per ton dibandingkan harga bulan sebelumnya yang berada pada level 100,33 dolar AS per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama KESDM Agung Pribadi mengungkapkan harga batu bara acuan itu sentuh level tertinggi dalam 10 tahun terakhir karena dipicu peningkatan konsumsi di negara-negara Asia Timur. “Kapasitas pasokan batu bara domestik China terus menipis seiring kembalinya geliat aktivitas pembangkit listrik. Kenaikan itu menjadi yang paling tinggi dalam satu dekade,” kata Agung.
Agung mengungkapkan China cukup kewalahan memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri akibat terjadinya kendala operasional, seperti kecelakaan tambang dan perubahan cuaca ekstrem. Selain China, Jepang dan Korea Selatan juga menunjukkan grafis kenaikan serupa yang berimbas pada kenaikan harga batu bara global.
Harga batu bara acuan diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR, total kelembaban 8 persen, total belerang 0,8 persen, dan abu 15 persen. (ann/sf)