Menguatkan Perekonomian Indonesia di Era Gejolak Global: Fundamental Domestik yang Kuat dan Stabilitas Rupiah

Jakarta, 17 Juli 2023 – Gejolak ekonomi global yang tidak menentu masih menjadi perhatian utama. Konflik berkelanjutan antara Rusia dan Ukraina, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam sektor semikonduktor, serta krisis energi dunia tetap mempengaruhi ekonomi domestik suatu negara. Bahkan, edisi Juni 2023 dari Global Economic Prospects yang diterbitkan oleh Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju akan melambat sebesar 0,7% pada tahun 2023 dibandingkan dengan pertumbuhan sebesar 2,6% pada tahun 2022. Proyeksi ini mengindikasikan adanya tekanan pada negara-negara akibat ketidakstabilan ekonomi global yang masih belum pulih.

Pada bulan Juni 2023, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 5%-5,25%, mengakhiri serangkaian kenaikan suku bunga yang berkelanjutan. Kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk mengendalikan inflasi yang berlebihan dan menjaga stabilitas ekonomi. Di sisi lain, Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan, dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 4,5% pada kuartal pertama 2023. Pada bulan April 2023, impor Tiongkok mengalami kontraksi tajam sebesar 7,9%, sementara ekspor hanya tumbuh sebesar 8,5%, menurun dari angka 14,8% pada bulan Maret sebelumnya.

Menyikapi tekanan ekonomi global yang terjadi, Eko Listiyanto, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa masalah dan tekanan yang dihadapi oleh negara-negara besar di dunia akan berdampak secara global. “Ketika negara-negara ekonomi besar mengalami masalah, ini tentu akan mempengaruhi ekonomi global, sehingga diharapkan pertumbuhannya tetap baik. Namun, pada kenyataannya, saat ini Tiongkok belum mencapai harapan tersebut,” ujarnya dalam diskusi ekonomi “Tumbuh Makna” dengan tema “Pengaruh Tingkat Suku Bunga AS dan Perlambatan Ekonomi Tiongkok terhadap Ekonomi Indonesia” di Satrio Tower, Jakarta.

Eko menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan mencapai 6%, namun berbagai indikator menunjukkan pertumbuhan yang belum cukup memadai. “Revisi angka pertumbuhannya berada di sekitar 5,5%, yang sebenarnya belum mencapai level optimal, karena Tiongkok minimal harus mencapai pertumbuhan 7% untuk pulih sepenuhnya. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang pertumbuhannya sekitar 5% sudah cukup. Di sisi lain, tingkat inflasi Amerika Serikat sudah cukup rendah, sekitar 3%, tinggal menunggu apakah akan konsisten atau sifatnya sementara,” jelasnya.

Meskipun gejolak ekonomi global sedang tinggi, Eko meyakini bahwa fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Menurut Eko, dalam hal pertumbuhan ekonomi Indonesia, fenomena ekonomi global tidak langsung berdampak secara signifikan. Menurutnya, perekonomian Indonesia didorong oleh pasar domestik yang memungkinkannya terus tumbuh dan mampu mengatasi tekanan dari luar.

“Bagaimana dengan Indonesia? Perekonomian Indonesia didorong oleh pasar domestik. Selama pasar domestik terus berjalan, kita masih dapat mencapai pertumbuhan sekitar 4,8%. Mungkin tidak sebesar yang diharapkan pemerintah dengan target 5,3%, tetapi pertumbuhan di bawah 5% masih memungkinkan mengingat kondisi ekonomi global yang lemah,” tambah Eko.

Eko juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mengoptimalkan pengeluaran agar mencapai target penerimaan pajak yang sesuai. Selain itu, Eko mendorong pemerintah untuk melakukan pengeluaran pemerintah (government spending) agar anggaran negara dapat segera digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sampai saat ini, ekonomi nasional masih cukup stabil. Oleh karena itu, sudah saatnya melakukan government spending. Anggaran ini harus segera digunakan untuk sektor riil, dieksekusi dalam sektor riil untuk menghasilkan PDB,” tuturnya.

Sementara itu, Fenny Tjahyadi, Co-Founder Tumbuh Makna, mencatat bahwa tanda-tanda perlambatan ekonomi di Indonesia belum terlihat, meskipun ada tekanan global dalam kenaikan suku bunga AS. Salah satu faktor yang mendukung keadaan ekonomi Indonesia adalah stabilitas nilai tukar rupiah, yang masih terjaga di antara mata uang negara lain di dunia.

“Mengamati pasar makro di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, terlihat kecenderungan positif. Dengan melihat tanda-tanda ini, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya perlambatan ekonomi di Indonesia sangat kecil. Ini terlihat dari perlambatan inflasi setelah hari raya. Bahkan pada bulan Juli, inflasi turun menjadi 3,52%. Dalam kategori transportasi, terjadi deflasi sebesar 0,1%. Sedangkan inflasi sektor makanan dan minuman melambat di bawah 0,5%. Ini terjadi karena permintaan sudah normal kembali setelah hari raya, dan pasokan sudah cukup tinggi. Selain itu, nilai tukar rupiah masih cukup stabil meskipun mata uang negara lain mengalami dampak,” jelas Fenny.

Fenny juga melihat kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat, yang dianggap kondusif dan menguntungkan bagi para investor untuk memanfaatkan peluang yang ada. “Berdasarkan konsensus pasar, BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga. Kami memperkirakan penurunan suku bunga hingga 50 hingga 75 basis poin hingga awal 2024. Kemungkinan penurunan suku bunga ini akan menjadi sentimen positif terutama bagi instrumen pendapatan tetap seperti obligasi. Hal ini tercermin dari net buy asing pada bulan Juni, yang mencapai Rp80 triliun,” katanya.

Dalam sektor pasar saham, Fenny melihat ada dua sektor yang memiliki potensi bagus, terutama menjelang pemilu 2024, yaitu sektor properti dan telekomunikasi. “Investor dapat mempertimbangkan sektor-sektor yang terdampak oleh penurunan suku bunga, seperti properti, atau menjelang pemilu, sektor telekomunikasi dengan dukungan lainnya akan menarik,” tambah Fenny.

Dalam melihat kondisi global yang dinamis, Benny Sufami, Analis dan Perencana Keuangan, menekankan pentingnya kesabaran bagi para investor dalam berinvestasi pada tahun 2023. Menurutnya, potensi pasar yang menarik saat ini harus dianalisis dengan baik dan tepat. “Investor harus bersabar dan menunggu, karena ada potensi yang cukup menarik pada tahun 2023 ini. Ini mirip dengan situasi pada Maret 2020 di mana terjadi pertumbuhan yang positif, sehingga dalam 12 bulan, kita bisa melihat pertumbuhan yang signifikan jika melihat situasi di awal pandemi,” ujarnya.

Meskipun optimis terhadap data makro pada tahun 2023 ini, Benny menekankan pentingnya para investor untuk tetap mempertimbangkan profil risiko masing-masing. “Dengan fakta dan data yang ada, kita dapat optimis bahwa ekonomi kita akan berkembang. Namun, kita harus berhati-hati dalam memanfaatkan peluang ini. Investor perlu memahami risiko yang ada sesuai dengan profil risiko masing-masing, baru kemudian melihat potensi return-nya,” pungkasnya.

Dalam menghadapi dinamika pasar yang terus berubah, Benny juga mendorong para investor untuk terus mengembangkan keahlian dan pengetahuan mereka dalam berinvestasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperdalam literasi investasi dan memantau perkembangan ekonomi yang terjadi. “Investor juga perlu memahami profil diri mereka sendiri untuk mencegah kesalahan atau investasi yang tidak sesuai. Dengan menggunakan metode 2L (Legal dan Logis) dalam berinvestasi dan meningkatkan literasi investasi, investor dapat menghindari kerugian,” tutup Benny.

Penulis: Luthfan Wira Alfiqri