Jakarta, 30 Januari 2024 – Pemasangan baliho politik di area publik dinilai mengganggu dan tidak efektif dalam menyampaikan pesan komunikasi kepada konstituen. Content Creator sekaligus Founder Malaka Project, Ferry Irwandi, mengungkapkan ketidakmasukan terhadap penyebaran baliho politik di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Menurutnya, baliho politik masih tersebar di mana-mana, dan segregrasinya sangat minim. Pernyataan ini disampaikannya saat menjadi pembedah hasil #PraxiSurvey dengan tema “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” di Jakarta pada 22 Januari 2024.
Pendapat Ferry sejalan dengan hasil survei Praxis PR, yang menemukan bahwa hanya 21,08% mahasiswa yang masih memanfaatkan iklan luar ruangan (OOH), seperti baliho, sebagai sumber informasi politik. Survei ini melibatkan 1.001 mahasiswa dalam rentang usia 16-25 tahun dari 34 provinsi di Indonesia, dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 dengan dua metode, kuantitatif dan kualitatif. Kerjasama dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM juga dilakukan untuk merinci temuan survei.
Ferry juga mencatat bahwa pemasangan baliho politik dan bendera partai dianggap merusak estetika dan pemandangan. Ia menyoroti ketidakpedulian partai politik dalam membersihkan baliho-baliho kampanye setelah pemilu, dengan masih terlihatnya baliho politik dari Pemilu 2019 di jalanan.
Tidak hanya merugikan secara visual, pemasangan baliho politik di ruang terbuka juga dapat menyebabkan kecelakaan. Terdapat laporan bahwa alat peraga kampanye (APK) ini telah menyebabkan kecelakaan di beberapa tempat, termasuk kasus di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Direktur Urusan Publik Praxis, Sofyan Herbowo, menambahkan bahwa maraknya pemasangan iklan OOH menjadi indikasi stagnasi kaderisasi partai politik. Ia mencatat bahwa banyak ketua umum partai politik yang menjabat lebih dari satu dekade, termasuk anggota partai yang merupakan pemain lama. Politisi muda kesulitan menduduki posisi pimpinan partai, meskipun mereka memiliki pemahaman yang lebih baik terkait pergeseran kondisi politik saat ini.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, mengemukakan bahwa penggunaan baliho politik cenderung bersifat teritorial. Secara simbolik, kehadiran APK di suatu wilayah hanya menandakan keberadaan kandidat, dan hal ini dianggap sebagai aspek penting dalam politik Indonesia saat ini.
Arga juga mengakui bahwa politik telah mengalami pergeseran tren sejak Pemilu 2004, khususnya melalui media sosial. Ia menyatakan bahwa politisi saat ini lebih aktif menggunakan media sosial untuk menyuarakan visi, misi, dan program-program tanpa menyadari bahwa hal tersebut juga merupakan bentuk kampanye.
Meskipun survei Praxis menunjukkan bahwa media massa daring, Instagram, dan televisi menjadi sumber informasi politik utama bagi mahasiswa, media sosial tetap menjadi ruang kontestasi politik dan sumber informasi yang signifikan.
Survei ini merupakan kontribusi Praxis sebagai agensi public relations (PR) dan public affairs (PA) untuk membangun ekosistem demokrasi yang sehat. Tema survei kali ini, “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024,” merupakan kelanjutan dari riset sebelumnya yang dilakukan pada April dan Agustus 2023.3