Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memproyeksikan subsektor yang akan memacu pertumbuhan manufaktur nasional di tahun 2018, yaitu industri baja dan otomotif, elektronika, kimia, farmasi, serta makanan dan minuman. Subsektor ini diharapkan mampu mencapai target pertumbuhan industri pengolahan non-migas tahun 2018 yang telah ditetapkan sebesar 5,67 persen.
“Pada triwulan III tahun 2017, beberapa subsektor tersebut kinerjanya di atas pertumbuhan ekonomi. Misalnya, industri logam dasar sebesar 10,60 persen, industri makanan dan minuman 9,49 persen, serta industri alat transportasi 5,63 persen,” kata Menperin sesuai keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (1/1).
Menperin meyakini, sektor manufaktur masih menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian nasional, di antaranya melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. “Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri,” tegasnya.
Peningkatan nilai tambah ini misalnya dilakukan oleh industri berbasis agro dan tambang mineral yang telah menghasilkan berbagai produk hilir seperti turunan kelapa sawit dan stainless steel. Untuk jumlah ragam produk hilir kelapa sawit, meningkat menjadi 154 produk sepanjang tahun 2015-2017 dibanding tahun 2014 sekitar 126 produk.
Pada periode 2015-2017, telah berproduksi industri smelter terintegrasi dengan produk turunannya berupa stainless steel yang memiliki kapasitas dua juta ton per tahun. Jumlah ini naik dibanding dengan tahun 2014 yang hanya mencapai 65 ribu ton produk setengah jadi berupa feronikel dan nickel matte.
Mengenai penyerapan tenaga kerja, Kemenperin memprediksi total tenaga kerja yang terserap di sektor manufaktur pada 2017 sebanyak 17,01 juta orang, naik dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 15,54 juta orang. Capaian ini mendorong pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang cukup signifikan.
Sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja cukup banyak, antara lain industri makanan dan minuman lebih dari 3,3 juta orang, industri otomotif sekitar 3 juta orang, industri tekstil dan produk tekstil sebanyak 2,73 juta, serta industri furnitur berbahan baku kayu dan rotan nasional untuk tenaga kerja langsung dan tidak langsung mencapai 2,5 juta orang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan pada Januari-November 2017 naik 14,25 persen dibanding periode yang sama tahun 2016. Sementara itu, pada semester I tahun 2017, ekspor industri pengolahan non-migas mencapai USD59,78 miliar atau naik 10,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar USD 54,32 miliar.
Ekspor industri pengolahan non-migas tersebut memberikan kontribusi sebesar 74,76 persen dari total ekspor nasional pada semester I/2017 yang mencapai USD 79,96 miliar. Negara tujuan ekspor nonmigas, antara lain ke China, Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Selanjutnya, industri pengolahan nonmigas masih memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada triwulan III/2017 dengan mencapai 17,76 persen. Sedangkan, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas pada triwulan III/2017 sebesar 5,49 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi sebesar 5,06 persen.
Selain itu, industri menjadi penyumbang terbesar dari pajak dan cukai. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak dari sektor industri hingga triwulan III/2017 mencapai Rp224,95 triliun atau tumbuh 16,63 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Selanjutnya, selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin meningkat. Data BPS memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016.
Saling berkolaborasi
Menperin menyatakan, pihaknya bersama pemangku kepentingan terkait saling berkolaborasi untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi di sektor industri Tanah Air. Langkah strategis yang dilakukan, antara lain melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kepastian hukum, penggunaan teknologi terkini untuk mendorong peningkatan mutu, efisiensi dan produktivitas, serta pemberian fasilitas berupa insentif fiskal.
“Selanjutnya, perlu didukung pula ketersediaan bahan baku, harga energi yang kompetitif, sumber daya manusia (SDM) kompeten, serta kemudahan akses pasar dan pembiayaan,” ungkapnya. Lebih lanjut, pertumbuhan konsumsi juga harus dijaga dan kembali ditingkatkan agar permintaan terhadap produk-produk industri semakin meningkat.
Menurut Airlangga, masih terdapat hambatan yang perlu diantisipasi ke depannya, salah satunya adalah penetapan tarif bea masuk di beberapa negara untuk produk-produk industri dari Indonesia. “Kami melihat kalau hambatannya itu dikurangi, kinerja indusri tekstil dan alas kaki juga akan ikut naik,” ungkapnya.
Hambatan tarif ini masih terjadi karena sejumlah perjanjian kerja sama ekonomi belum rampung disepakati, di antaranya dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. “Saat ini dalam proses negosiasi untuk bilateral agreementtersebut, seperti bea masuk ekspor produk tekstil Indonesia masih dikenakan 5-20 persen, sedangkan ekspor Vietnam ke Amerika dan Eropa sudah nol persen,” imbuhnya.
Dalam jangka panjang, Airlangga menambahkan, pihaknya akan terus mendorong industri dalam negeri untuk berinovasi sehingga mampu bersaing di kancah global. Sejalan dengan itu, dalam jangka menengah, Kemenperin sedang menyiapkan SDM industri yang kompeten melalui program pendidikan yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan dan industri.
Merujuk laporan World Economic Forum (WEF),daya saing Indonesia dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 berada pada posisi ke-36 dari 137 negara atau naik lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya yang menduduki posisi ke-41. Tahun 2013 posisi ke-38 dari 148 negara, tahun 2014 posisi ke-34 dari 144 negara, dan tahun 2015 posisi ke-37 dari 140 negara.
Hasil publikasi tahun tersebut juga menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-31 dalam inovasi dan ke-32 untuk kecanggihan bisnis. Bahkan, Indonesia dinilai sebagai salah satu inovator teratas di antara negara berkembang, bersama dengan China dan India.
“Bahkan, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dari 15 negara yang industri manufakturnya memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” ungkap Airlangga. Indonesia mampu menyumbang hingga 22 persen setelah Korea Selatan (29 persen), Tiongkok (27 persen), dan Jerman (23 persen).
Selanjutnya, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mencatat, Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia ata naik dari peringkat tahun sebelumnya di posisi ke-10 untuk kategori manufacturing value Added. Peringkat ke-9 ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya.