Jakarta, 20 November 2017 – Tingginya permintaan ikan tuna di pasar global dan sifatnya sebagai jenis ikan bermigrasi jauh menyebabkan pengelolaannya dilakukan bersama secara regional (RFMO). Peraturan internasional Tata Kelola penangkapan tuna di EEZ dan laut lepas disepakati oleh negara anggota didalam sidang tahunan RFMO. Menilai ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Biro Hukum dan Organisasi menyelenggarakan diskusi interaktif mengenai Kebutuhan Regulasi dalam Tata Kelola Tuna di Indonesia, di Ballroom KKP, Senin (20/11) untuk menjaring aspirasi dari multisektoral demi menghadapi tata kelola tuna yang sesuai dengan tiga pilar KKP yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
“Tuna itu diambil di laut tentu Ia termasuk sumber daya alam sama seperti tambang. Untuk itu diperlukannya regulasi, bagaimana agar dapat memberikan dampak ekonomis secara berkelanjutan dan terus menerus,” terang Rifky Effendi Hardijanto, Sekretaris Jenderal KKP dalam sambutannya.
Di Indonesia, tuna merupakan salah satu komoditas ekspor yang menduduki peringkat ketiga dalam nilai ekspor. Permasalahan yang terjadi di Indonesia yaitu volume ikan tuna di Indonesia hanya berselisih sedikit dengan jumlah stok ikan lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Oleh karena itu, Rifky menyatakan perlu adanya regulasi khusus yang mengatur ikan tuna di Indonesia agar sumber daya ikan khususnya ikan tuna dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Hal ini senada dengan pendapat Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Herman Khaeron bahwa indikator keberhasilan Indonesia dalam mengatur tata kelola di Indonesia yaitu bukan hanya pada kepatuhan pada konvensi laut internasional melainkan juga pada kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Herman berharap agar ikan tuna di Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. “Kita boleh ikut konvensi tapi kita harus punya regulasi yang kuat dan jelas baik keluar dan ke dalam,“ ungkap Herman.
Pemerintah tentu mengharapkan kemandirian Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya ikan tuna mulai dari proses penangkapan, pengolahan sampai pemasarannya sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati oleh Indonesia bersama Regional Fisheries Management Organizations (RMOFs). Sebagai bentu peran aktif dan kontribusi Indonesia sebagai anggota RMOFs dalam pengelolaan tuna internasional. Hanya saja, menurut Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Toni Ruchimat bahwa meskipun kuota penangkapan ikan tuna bagi negara anggota dibatasi dengan alasan keberlanjutan, menjadi anggota RMOFs memberikan beberapa keuntungan bagi Indonesia.
“Apabila suatu negara tidak terdaftar sebagai anggota RMOFs mengakibatkan negara tersebut tidak diperbolehkan untuk mengekspor produk perikanannya ke negara lain, hanya bisa menangkap ikan di perairan negaranya, dan apabila negara tersebut kedapatan menangkap tuna di ZEE atau laut lepas akan dinyatakan sebagai pelaku IUU fishing,” terang Toni. Untuk itu, melalui keanggotaan Indonesia dalam RMOFs, Toni mengusulkan agar tuna harus memiliki Permen sendiri dengan mempertimbangkan kedaulatan negara dan resolusi dari RMOFs.
Selain itu Arif Satria Rektor Terpilih IPB, menyarankan agar Indonesia menerapkan strategi gas dan rem yaitu dengan mempertimbangkan IUU fishing dan percepatan ekonomi perikanan nasional yaitu dengan menetapkan regulasi yang baru mengenai larangan titip ikan (transhipment) di laut lepas atau penambahan kapal perikanan di laut lepas. Sebab berdasarkan data kuota Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Indonesia memiliki kuota penangkapan pada 2018 mendatang sebesar 1.023 ton. Adapun kuota perikanan Indonesia pada 2017 di CCSBT sebsar 900 ton sementara hasil tangkapan ikan tuna menurut data per 1 September 2017 sebesar 288 ton. Untuk itu, diharapkan pada tahun mendatang Indonesia dapat memaksimalkan kuota yang disediakan.
Selain bergantung pada perikanan tangkap di laut lepas, negara-negara di dunia juga mulai melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tuna mereka. Diketahui, stok ikan tuna dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang sangat drastis. Menurut data FAO pada 2016, sebanyak delapan jenis ikan tuna mengalami overexploited yaitu terdiri atas tuna sirip biru Pasifik, ikan tuna sirip biru atlantik, tuna sirip biru selatan, tuna big eye, tuna sirip kuning, tuna albacore, tuna ekor panjang dan tuna ekor hitam.
Melihat ini, sejumlah negara mulai melakukan teknik budidaya pada ikan tuna. Adapun negara- negara yang mulai melakukan teknik pembudidayaan pada ikan tuna yaitu Australia, Jepang, Meksiko, Spanyol, Maroko, Portugis, Kroasia, Turki, dan Indonesia. Dan tercatat, meskipun di Indonesia budidaya tuna masih dalam tahap pengembangan, pada 2015 Indonesia menjadi negara pertama yang melakukan budidaya ikan tuna dari tahap pemijahan untuk jenis tuna sirip kuning.