Bali – Persoalan mendasar pembangunan adalah kemiskinan. Kemiskinan identik dengan kebodohan, keterbelakangan, ketertinggalan dan kerendahan martabat. Di tengah kemajuan perkembangan pariwisata Bali, masih banyak rakyat yang miskin. Padahal berbagai program yang pro poor, pro growth, pro job, pro environment dan pro culture yang dilaksanakan Pemprov Bali secara bertahap telah mampu menekan angka kemiskinan sampai 4,15 persen.
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada Sarasehan Pendidikan bertajuk “Membangun Masa Depan Pendidikan Bali” di Gedung Wiswa Sabha Utama, Senin (22/01), menyoroti sistem pendidikan saat ini yang dirasakan masih mencerminkan ketidakadilan. Banyak anak-anak yang miskin tidak masuk dalam sekolah negeri. Justru sekolah negeri yang notabene mendapat subsidi dan dibiayai oleh pemerintah justru menerima anak-anak yang NEM-nya tinggi yang seringkali adalah anak orang yang mampu, yang fasilitas belajarnya lengkap, dan mampu les privat. Sedangkan anak-anak miskin yang memang tidak memiliki sarana belajar yang memadai, harus bekerja membantu orangtuanya sehingga NEM-nya rendah, harus masuk di sekolah swasta yang justru harus membayar mahal.
Kondisi sistem pendidikan yang seperti ini menjadi latar belakang sarasehan, dengan harapan akan mendapatkan rumusan penting bagi kelanjutan pendidikan di Bali. “Ini harus kita akhiri, tidak boleh terus-menerus dibiarkan. Ini tidak sesederhana persoalannya. Sekolah negeri, sekolah yang dibayar oleh negara, gurunya dibayar negara, fasilitasnya dibayar negara, gedungnya dibayar negara, tapi rata-rata yang bersekolah anak-anak orang kaya,” jelas Pastika.
Pastika berharap, melalui acara ini bisa dirumuskan pemikiran-pemikiran yang bernas dan inovatif, yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pembangunan pendidikan Bali pada masa mendatang.
Di bagian lain Pastika menambahkan, ini saatnya perlu melakukan perubahan secara radikal di dunia pendidikan. Menurutnya, persoalan banyaknya anak-anak yang putus sekolah seharusnya dapat diatasi dengan penerapan teknologi informasi. Faktor ekonomi menempati urutan pertama penyebab putus sekolah, kemudian pemahaman orang tua terkait pentingnya pendidikan masih rendah sehingga anak usia sekolah harus bekerja, dan faktor geografis membuat susahnya akses ke sekolah. “Harapannya makin banyak anak-anak yang diterima di sekolah dengan teknologi. Banyak anak yang putus sekolah di jalan. Artinya mereka perlu akses yang lebih murah, lebih cepat, lebih banyak, caranya dengan pendidikan On-line,” katanya.
Lebih lanjut, Pastika menyampaikan perlu dilakukan perubahan undang-undang, supaya apa yang akan dilakukan ada payung hukumnya yang benar. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, sudah sewajarnya dilakukan revisi. “Waktu itu mungkin perkembangan teknologi belum seperti sekarang. Sudah 15 tahun, harus ada menyesuaikan perkembangan dunia, itu kalau kita mau bersaing,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali, TIA Kusuma Wardhani menyampaikan, sesuai UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang SPN, Pasal 5 ayat 1, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Pemerintah menjamin pemerataan kualitas pendidikan, yang mencakup dua aspek penting yaitu persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama dalam masyarakat.
Beberapa isu strategis yang disampaikan diantaranya belum sinkronnya kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pendidikan. Beberapa kebijakan pusat dianggap kurang realistis di daerah, terlebih saat ini perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak dibarengi dengan pembaruan regulasi di tingkat pusat.
Rektor Universitas Pendidikan Ganesha (Undhiksa) yang diwakili Gede Nurjaya, menyampaikan Indonesia yang unggul ditentukan oleh generasi yang unggul. Kualitas pendidikan yang unggul sangat ditentukan peran guru yang juga unggul. Sedangkan saat ini banyak permasalahan mendasar yang harus diselesaikan pemerintah. Berdasarkan data Ditjen GTK Kemendikbud RI (Juli, 2017), kebutuhan guru umum di Bali kekurangan 10,278 orang, sedangkan guru SMK kekurangan 3,009 orang. Selain itu permasalahan sertifikasi guru dan juga penguasaan Teknologi Informasi (TI) yang masih perlu ditingkatkan lagi.
Sarasehan yang dimoderatori Wiratmaja ini seharusnya menghadirkan narasumber Wayan Koster yang secara khusus diundang selaku Anggota Komisi X DPR RI, yang membawahi bidang pendidikan, namun tidak dapat hadir karena sesuatu dan lain hal. Hadir pada kesempatan tersebut Kelompok Ahli Bidang Pembangunan, Kelompok Ahli Bidang Hukum, Rektor dan akademisi perguruan tinggi di Bali, serta Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/kota se-Bali.