Kementerian Perindustrian semakin fokus untuk mengembangkan industri farmasi di tanah air agar bisa mewujudkan sektor yang mandiri dan berdaya saing. Apalagi, Indonesia ditopang dengan potensi dari ketersediaan sumber daya alam melimpah yang dapat dijadikan bahan baku.
“Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbaik di dunia seperti jahe, lempuyang, pala, nilam dan lain-lain, yang tentunya bisa menjadi modal utama dalam membangun kemandirian untuk memproduksi obat,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Rabu (14/10).
Kepala BPPI menyampaikan, pihaknya tengah mendorong pengembangan obat tradisional menjadi obat modern asli Indonesia (OMAI) berupa Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka. Guna mencapai sasaran ini, sejumlah satuan kerja di bawah BPPI dipacu untuk meningkatkan kegiatan litbang agar bisa menghasilkan inovasi yang dibutuhkan.
“Contohnya adalah Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Jakarta yang memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang tersebut, termasuk untuk mengembangkan fasilitas produksi guna mendorong pertumbuhan industri OMAI,” paparnya.
Saat ini, BBKK Jakarta dalam proses merancang pembangunan fasilitas House of Wellness yang bakal dilengkapi dengan mini plant bersertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Smart Laboratory (R&D serta QC), Centre of Essential Oils (Learning Factory dan Laboratorium Essential Oils Authentication) dan soft computing room. “Program ini termuat dalam roadmap pengembangan fitofarmaka BBKK 2021-2026,” ujar Doddy.
Tahun 2021, direncanakan pembangunan prasarana gedung dan penunjangnya, dengan mengikuti standar CPOTB. Dilanjutkan tahun 2022, membangun instalasi peralatan dan sertifikasi CPOTB. “Pada tahun 2023, nantinya sudah dapat memproduksi ekstrak bahan alam serta mengembangkan smart laboratory,” imbuhnya.
Diharapkan, OHT sudah dapat diproduksi pada tahun 2024, dan pada tahun 2026 fasilitasnya sudah dapat menghasilkan fitofarmaka. “Dalam pengembangan produk OMAI ini tentunya membutuhkan dukungan dan kerja sama dengan pihak terkait lainnya melalui kolaborasi dengan lembaga litbang, industri obat tradisional atau farmasi dan stakeholder lainnya,” sebut Doddy.
Pada kunjungan kerjanya ke BBKK Jakarta, Selasa (13/10), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, pihaknya bertekad untuk semakin memperkuat struktur manufaktur dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan. Oleh sebab itu, kedua industri strategis tersebut, telah dimasukkan ke dalam sektor tambahan yang mendapat prioritas pengembangan pada peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Salah satu yang sedang difokuskan dalam membangun sektor industri nasional adalah ketersediaan bahan baku dan bahan penolong. Ini salah satu isu strategis yang sedang menjadi perhatian kami,” tutur Menperin.
Hal itu sejalan dengan upaya Kemenperin untuk segera mewujudkan Indonesia bisa mandiri di sektor kesehatan. “Kemandirian Indonesia di sektor industri farmasi dan alat kesehatan merupakan hal yang penting, terlebih dalam kondisi kedaruratan kesehatan seperti saat ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, kemandirian di sektor industri farmasi dan alat kesehatan diharapkan berkontribusi dalam program pengurangan angka impor impor hingga 35 persen pada akhir tahun 2022. “Inovasi dan penerapan industri 4.0 di sektor industri alat kesehatan dan farmasi dapat meningkatkan produktivitas,” ujar Agus.
Kemenperin mencatat, industri farmasi dan alat kesehatan merupakan sektor yang masuk dalam kategori yang mengalami permintaan tinggi (high demand) ketika pandemi Covid-19, di saat sektor lain mengalami dampak yang berat. Pada triwulan I tahun 2020, industri kimia, farmasi dan obat tradisional tumbuh positif sebesar 5,59 persen. Di samping itu, industri kimia dan farmasi juga menjadi sektor manufaktur yang menyetor nilai investasi cukup signifikan pada kuartal I-2020, dengan mencapai Rp9,83 triliun.