Jakarta, 12 Januari 2021- Industri kendaraan bermotor merupakan salah satu yang didorong pengembangannya di Tanah Air. Hal ini karena industri tersebut menunjukkan pertumbuhan signifikan yang juga mendukung perekonomian nasional. Kontribusi tersebut dapat dilihat dari kinerja ekspor produk otomotif yang masih menunjukkan capaian signifikan, meskipun dalam kondisi pandemi.
Menanggapi perkembangan pemberlakuan safeguard dari Republik Filipina atas kendaraan penumpang serta kendaraan komersial ringan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa perkembangan tersebut membuktikan daya saing industri otomotif Indonesia yang tinggi. “Penerapan safeguard tersebut menunjukkan bahwa Industri otomotif Indonesia di atas Filipina,” ujarnya di Jakarta, Selasa (12/1).
Produksi kendaraan roda empat Indonesia pada tahun 2019 mencapai 1,286,848 unit. Angka tersebut sangat jauh dibandingkan dengan produksi Filipina yang hanya mencapai 95,094 unit.
Lebih lanjut, Menteri Perindustrian mengatakan, perkembangan otomotif Indonesia menunjukkan tren yang menggembirakan. “Dalam catatan saya, setidaknya akan masuk investasi senilai lebih dari Rp30 Triliun ke Indonesia untuk sektor otomotif,” kata Menperin.
Selain itu, industri otomotif global memiliki Global Value Chain yang tinggi, sehingga perbedaan harga antarnegara relatif rendah. Dalam hal ini, Indonesia diuntungkan karena saat ini telah mampu mengekspor produk otomotif ke lebih dari 80 negara dengan rata-rata 200.000 unit per tahun. “Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia makin terintegrasi dengan pasar dunia,” imbuhnya.
Pada Januari hingga November 2020, Indonesia telah mengapalkan sebanyak 206.685 unit kendaraan Completely Build Up (CBU), 46.446 unit Completely Knock Down (CKD), serta 53,6 juta buah komponen kendaraan.
Terakhir, Menperin menekankan bahwa Filipina harus membuktikan bahwa memang terjadi tekanan pada industri otomotif di Filipina akibat impor produk sejenis dari Indonesia, sehingga perlu mengambil kebijakan penerapan safeguard bagi produk impor dari Indonesia. “Ini disebabkan karena penerapan safeguard memiliki konsekuensi di WTO,” pungkasnya.