Indonesia Suarakan Aksi Perubahan Iklim Dalam Agenda Non Perundingan Di Bccc

Jakarta, 15 Mei 2018 – Perjuangan Indonesia dalam menyuarakan pentingnya aksi perubahan iklim global, tidak hanya disampaikan dalam perundingan formal, namun juga dalam berbagai kegiatan non perundingan. Selain perundingan Subsidiary Body on Implementation (SBI), Subsidiary Body on Scientific and Technical Advise (SBSTA) dan Adhoc Working Group on Paris Agreement (APA), dalam Bonn Climate Change Conference (BCCC), beberapa waktu lalu, Indonesia menghadiri pertemuan dalam lingkup negosiasi (mandated event), pertemuan di luar negosiasi (side event), Dialog Talanoa (Talanoa Dialogue) dan pertemuan lainnya.
“Kegiatan non perundingan tersebut sangat penting, karena menyangkut pada perjuangan kepentingan Indonesia, serta merupakan salah satu bentuk dalam menerapkan “soft diplomacy”, tutur Ketua DELRI, Dr. Nur Masripatin.
Beberapa mandated events yang dihadiri Indonesia, antara lain terkait isu Kesetaraan Gender, Adaptasi, dan Peningkatan Kapasitas.
Selain itu, DELRI juga mengikuti beberapa Side Events penting terkait pengelolaan lahan gambut (Global Peatand Initiative), FAO tentang Koronovia Joint Program, peran pemerintah daerah dalam upaya Pengendalian Perubahan Iklim (PPI), dan pendanaan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC).
Terkait isu Mitigasi, Nur Masripatin menekankan, agar potensi ketersediaan lahan (terutama gambut), dapat dikaitkan dengan komitmen conditional dan unconditional dari NDC Indonesia. Selain itu, dijelaskan pula bahwa di Indonesia tersedia Badan Layanan Umum yang sedang mempersiapkan pendanaan iklim.
Strategi pelaksanaan aksi adaptasi melalui dua pendekatan yaitu lembaga pemerintah dan masyarakat, juga disampaikan Sri Tantri, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, saat mewakili Indonesia DELRI dalam forum yang dilaksanakan oleh The International Council for Local Environmental Initiative (ICLEI).
“Saat ini Indonesia memiliki Sistem Information Vulnerability Data Index (SIDIK), dan peraturan kebijakan pedoman penyusunan aksi adaptasi dan Program Kampung Iklim (PROKLIM). Dalam hal ini komitmen pemerintah daerah sangat penting, dan harus bekerjasama dengan pemangku kepentingan lainnya, untuk keberlanjutan dari program adaptasi”, jelas Sri Tantri.
Sementara menjelang akhir pelaksanaan BCCC, Indonesia juga banyak melakukan pertemuan bilateral dengan pihak-pihak tertentu, seperti NDC Partnership, Pemerintah Jerman, Pemerintah Australia, serta perkumpulan NGO yang bernaung ke dalam Climate, Land, Ambition and Rights Alliance (CLARA). Hal tersebut tidak lain untuk memperkuat kerjasama bilateral bidang lingkungan dan membahas perkembangan negosiasi di Bonn.