Seremonia.id – Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun 2023 membawa ancaman kekeringan yang serius. BMKG memprediksi puncak musim kemarau terjadi antara April hingga Agustus 2023. Untuk menghadapi situasi ini, penting bagi semua pihak untuk memanfaatkan waktu terbaik atau “golden time”.
Menurut informasi dari World Meteorological Organization (WMO), El Nino diperkirakan semakin memburuk pada akhir tahun 2023, yang akan menyebabkan perubahan iklim global secara drastis. Dampak yang buruk dari fenomena cuaca ini diperkirakan berlangsung lama dan dapat menyebabkan peningkatan suhu global. Laporan BMKG yang berjudul “Global Producing Centres of Long-Range Forecast” pada tanggal 3 Mei 2023 menyebutkan bahwa ada peluang 60% transisi dari ENSO-netral ke El Nino antara Mei hingga Juli 2023. Peluang ini diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 70% pada Juni hingga Agustus dan mencapai 80% antara Juli hingga September tahun ini.
BMKG telah memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya periode tanpa hujan yang panjang di sebagian besar wilayah Indonesia. Beberapa daerah yang terdampak termasuk Papua Barat dan Timur, Bali, NTB, NTT, Aceh, Jawa, dan beberapa lokasi lainnya. Analisis BMKG menunjukkan bahwa saat ini fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) masih lemah dan akan tetap berada dalam fase netral hingga akhir tahun 2023. Namun, peningkatan yang signifikan diperkirakan akan terjadi pada Oktober hingga Desember 2023.
Ancaman kekeringan ini memiliki dampak yang luas, terutama pada sektor pertanian, kehutanan, dan kesehatan. Bahaya kebakaran hutan juga menjadi ancaman serius yang perlu diwaspadai oleh semua pihak.
Untuk mengurangi dampak fenomena iklim ini, langkah-langkah berikut dapat dilakukan. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Indonesia, Abdul Muhari, menyatakan bahwa “golden time” harus dimanfaatkan dengan mendistribusikan curah hujan ke embung, waduk, danau, sehingga tempat-tempat ini dapat menjadi cadangan air yang optimal saat musim kemarau tiba. BNPB telah mengantisipasi musim kemarau dengan strategi mitigasi yang melibatkan partisipasi masyarakat luas, seperti penghijauan, penanaman vegetasi, pembersihan saluran air, pembenahan tanggul sungai, penguatan lereng dan badan sungai, serta optimalisasi drainase.
Abdul juga menekankan pentingnya menjaga ketersediaan cadangan air dengan menjaga kawasan-kawasan yang mampu menampung air. Dia menyoroti perlunya vegetasi yang kuat untuk menahan air saat musim hujan dan pentingnya area resapan air yang cukup selama musim kemarau.
Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang melakukan pembangunan 35 bendungan yang dijadwalkan selesai tahun ini. Pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan air agar dapat menghindari banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat Indonesia harus bersiap siaga dengan memperbaiki perilaku terkait alam dan lebih memperhatikan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah seperti menghindari krisis air dengan melakukan eco-farming dan menghindari perilaku yang dapat menyebabkan kebakaran hutan sangat penting sebelum kondisi memburuk, seperti saat fase El Nino-neutral.
Dengan strategi dan solusi mitigasi yang diterapkan sejak dini, termasuk perhatian terhadap konstruksi bendungan sebagai cadangan air, diharapkan kondisi masyarakat Indonesia dapat terbantu dalam menghadapi situasi ini.