BANDUNG – Pemanfaatan sumber energi batubara telah dilakukan sejak beberapa abad lalu, namun eksploitasi secara besar-besaran baru terjadi pada abad ke-19 setelah penemuan mesin uap oleh James Watt. Pemanfaatan batubara yang paling banyak dijumpai adalah pembakaran langsung untuk membangkitkan panas. Saat ini, batubara secara umum dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Dibandingkan bahan bakar fosil lain, minyak bumi dan gas bumi (gas alam), batubara menghasilkan emisi CO2 lebih banyak dan partikulat dalam bentuk partikel abu.
Memasuki abad ke-20, saat beberapa sumber energi terbarukan (surya, bayu, biomassa, hidro, dsb) mulai dimanfaatkan, aktivis-aktivis lingkungan mulai menyerukan pengurangan penggunaan batubara. Selain menyebabkan terbentuknya emisi gas rumah kaca, pembakaran batubara juga berpotensi mencemari lingkungan dengan senyawa seperti NOx dan SOx yang menyebabkan hujan asam. Di sisi lain, batubara masih menjadi sumber energi utama bagi industri karena cadangan yang berlimpah, biaya investasi peralatan yang lebih rendah, dan dukungan teknologi yang sudah matang.
Untuk menjawab permasalahan yang terjadi pada pemanfaatan batubara, pada hari Sabtu tanggal 10 Maret 2018, bertempat di Aula Barat ITB, Prof. Dwiwahju Sasongko, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri (FTI) menyampaikan orasi ilmiah di Forum Guru Besar ITB, dengan judul “Tantangan Pengembangan Teknologi Pemrosesan Batubara Ramah Lingkungan (Clean Coal Technology) di Indonesia”.
Pak Song, panggilan akrab Prof. Dwiwahju Sasongko, menjelaskan bahwa saat ini Indonesia memiliki cadangan terbanyak ke-9 atau sekitar 2,2% dari seluruh cadangan batubara dunia. Sayangnya, sekitar 80% cadangan batubara Indonesia termasuk batubara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5000 kkal/kg. Batubara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Dengan produksi batubara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20% yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80% diekspor.
Agar lebih ramah lingkungan, teknologi pemrosesan batubara memerlukan terobosan dalam pengembangannya. Terobosan yang telah diimplementasikan pada skala komersial adalah pada teknologi pembakaran. Industri dapat memilih tiga jenis tungku yaitu fixed bed (stoker), fluidized bed (FBC=Fluidized Bed Combustion), dan entrained bed (PF=Pulverized Firing). Akhir-akhir ini, FBC menarik perhatian karena temperatur operasi yang relatif rendah (800-900°C) yang sedikit menghasilkan NOx dibandingkan dengan 1200-1400°C pada PF. FBC menggunakan umpan partikel batubara ukuran skala mm sehingga memerlukan energi yang lebih kecil untuk penggerusan dibandingkan dengan PF yang membakar partikel batubara skala mikrometer. Selain itu, penambahan batu kapur selain pasir sebagai media pemanas dapat menangkap SOxmenghasilkan gipsum. Seiring dengan perkembangan FBC, teknologi PF juga berkembang dengan modifikasi teknik pembakaran sehingga temperatur operasi lebih rendah yang berarti penurunan emisi NOx.
Penelitian terobosan yang saat ini dilakukan oleh Pak Song bersama Dr. Winny Wulandari dan Dr. Jenny Rizkiana, adalah pembuatan batubara hibrida. Menyadari bahwa batubara peringkat sedang dan rendah belum atau masih sedikit dimanfaatkan, sementara itu Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang banyak dan juga masih sedikit dimanfaatkan, kedua bahan bakar padat ini dikonversi menjadi batubara hibrida. Batubara hibrida dibuat dengan mencampurkan partikel batubara dan biomassa (misal serbuk gergaji kayu) menggunakan perekat (binder) kemudian memprosesnya dengan pirolisis pada temperatur rendah (200-300°C) atau sering disebut sebagai proses torefaksi. Dengan proses ini, sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batubara/biomassa sehingga nilai kalor bahan bakar padat ini lebih tinggi dibandingkan nilai kalor umpan. Biomassa menjadi lebih hidrofobik sehingga tidak mudah membusuk dan tingkat ketergerusannya meningkat sehingga pengecilan ukuran partikel batubara hibrida untuk umpan FBC maupun PF lebih mudah dilakukan. Yang lebih menarik, emisi CO2 pada pembakaran batubara hibrida lebih rendah dibandingkan dengan batubara umpan karena CO2 yang dihasilkan pada pembakaran biomassa adalah CO2 netral.
Selama ini, Prof. Sasongko dan tim juga melakukan penelitian lain untuk menanggulangi dampak negatif pada pemrosesan batubara. Selain dilakukan secara fisik dan kimiawi, kandungan sulfur dalam batubara dapat disisihkan dari batubara secara biologik dengan memanfaatkan Thiobacillus ferrooxidans. Beliau juga memanfaatkan Trichoderma sp dan metode biologik lainnya untuk memutus rantai hidrokarbon dalam matriks batubara menghasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi. Dengan mengkonversi batubara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran.
Selain itu, Prof. Sasongko dan tim juga melakukan penelitian untuk memanfaatkan abu batubara yang dihasilkan PLTU untuk sintesis zeolit. Zeolit dapat berfungi sebagai adsorben atau katalis dan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan abu batubara yang saat ini dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik semen atau konstruksi/bangunan.
Penelitian-penelitian tersebut tentunya menjadi jawaban atas amanah pemerintah dalam pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menyatakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi energi diarahkan untuk mendukung industri energi nasional dan secara eksplisit pasal 24 ayat (2) memberikan kesempatan lebih besar kepada perusahaan nasional dalam pengelolaan minyak, gas bumi, dan batubara. “Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batubara dan telah banyak upaya untuk mengatasi dampak negatifnya, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batubara ramah lingkungan di masa kini dan masa depan,” demikian pungkas Prof. Dwiwahju Sasongko, Ketua Kelompok Keahlian Energi dan Sistem Pemroses Teknik Kimia.