BANDUNG, 02 Mei 2018 – Institut Teknologi Bandung merupakan perguruan tinggi teknik tertua yang pernah didirikan di Indonesia. Sejak diresmikan pertama kali pada tahun 1920, tentulah institusi ini telah mengalami banyak sekali perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Jejak-jejak perkembangan tersebut salah satunya bisa dilihat dari evolusi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dikeluarkan oleh ITB dari masa ke masa. Berikut adalah cerita dari Novriana Sumarti, Ph.D, Lektor Kepala di FMIPA ITB yang menjadi salah seorang saksi sejarah dari evolusi KTM di ITB.
Mengulik Sejarah dari KTM Sang Ayah
Adalah ayah dari Novriana yang memiliki Kartu Tanda Mahasiswa ITB tempo dulu sebab merupakan salah seorang mahasiswa ITB angkatan 1955. Beliau masuk ke Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) dan mengambil bagian Apoteker (Farmasi) sebagaimana tertulis pada KTM milik beliau. KTM pada masa ini pada dasarnya merupakan kartu pembayaran biaya studi sehingga masih memuat kolom-kolom pembayaran uang kuliah.
Tak sampai setahun berkuliah, fakultas tempat sang ayah menuntut ilmu sudah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA). Akan tetapi dalam periode ini FIPIA masih berada dibawah naungan Universitas Indonesia. Bentuk KTM-nya pun tidak berubah baik secara isi maupun tata letak. Identitas terkait mahasiswa masih sebatas nama, jurusan, foto diri dan tahun masuk. Sementara bagian sisanya berisikan catatan pembayaran studi selama satu tahun.
Sejarah kemudian mencatat bahwa pada tanggal 2 Maret 1959 Institut Teknologi Bandung resmi berdiri setelah diresmikan pendiriannya oleh Presiden Ir. Soekarno. Dokumen rujukan terkait hal ini diantaranya dapat dilihat pada Keputusan Rektor Institut Teknologi Bandung Nomor 267/SK/K01/OT/2008 tentang Pendirian dan Peresmian Nama Institut Teknologi Bandung. “Waktu perpindahan dari FIPIA UI ke ITB, bapak (alm.) sedang dalam pendidikan militer,” ungkap Novriana. Hal ini menjelaskan mengapa Novriana tidak memiliki arsip KTM sang ayah pada tahun 1959 dan baru memiliki arsip lagi untuk tahun 1960.
Uniknya pada KTM sang ayah yang diterbitkan pada tahun 1960 belum ditemukan lambang Ganesha meskipun ITB sudah resmi berdiri. Lambang tersebut baru muncul pada Kartu Tanda Mahasiswa ITB tahun ajaran 1963/1964. Novriana juga memperlihatkan Kartu Anggota Himpunan Mahasiswa Farmasi “Ars Pareparandi” tahun 1963 yang sudah memuat lambang ITB. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lambang ITB sudah cukup meluas pada tahun 1963.
Asal Usul Terbentuknya Lambang ITB
Dokumen rujukan yang dapat menjelaskan peristiwa ini memang tidak cukup mudah untuk ditemukan. Tetapi kita bisa melihat Buku Aura Biru – Catatan Para Pelaku Sejarah ITB yang diterbitkan oleh ITB pada tahun 2009 bertepatan dengan Dies Emas 50 Tahun ITB. Buku ini memuat cerita-cerita dari para civitas akademika ITB tempo dulu yang menjadi pelaku sejarah secara langsung di ITB. Cerita khusus terkait lambang ITB sendiri bisa ditemukan dalam tulisan yang berjudul “Nostalgia Kampus ITB, Dalam Lima Aura Warna” karya A.D. Pirous. Cerita ini beliau dapatkan dari (alm.) Ahmad Sadali, yang mendapatkan cerita tersebut dari (alm.) Prof. S. Soemardja, tokoh legenda Seni Rupa ITB dan Indonesia.
Pirous menceritakan bahwa para guru besar saat itu berjalan-jalan di sekitar kampus untuk mencari ide. Mereka diantaranya terdiri dari Prof. Ir. Soetedjo, Prof. S. Soemardja, Prof. Soemono, dan Prof. Ir. R.O. Kosasih. Sayangnya mereka tak kunjung mendapatkan inspirasi meskipun telah berkeliling dan memperhatikan satu demi satu bangunan yang sudah berdiri di kampus sambil mengkaji sejarah awal berdirinya kampus itu.
Tetapi kemudian inspirasi pun datang dari 2 buah patung Ganesha kecil yang dipasang di bawah jam gerbang kampus di sisi yang menghadap ke depan. Patung tersebut merupakan temuan dari penggalian di situs-situs candi di Jawa Tengah oleh para arkeolog asing beberapa tahun silam. Konon patung tersebut masih berada di kampus ITB kala itu karena belum ikut didaftarkan di Museum Gajah di Jakarta.
Para guru besar itu pun bersepakat untuk mengembangkan lambang ITB dari patung Ganesha tersebut. Maka ditugaskanlah Srihadi S., pelukis dari Seni Rupa ITB, untuk mendesain lambang perguruan tinggi yang baru dengan dibantu oleh beberapa asisten. Hasilnya terciptalah lambang ITB yang bentuknya masih lestari sampai sekarang.
Sayangnya tidak terdapat literatur rujukan mengenai kapan persisnya lambang tersebut berhasil diselesaikan. Yang jelas pastilah terdapat masa transisi penggunaan lambang yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Maka tidak heran apabila ITB sempat mencetak beberapa dokumen –termasuk KTM– tanpa lambang Ganesha pada masa transisi tersebut.
Secercah Asa Bagi Institusi yang Semakin Menua
Bagi Novriana, arsip KTM milik ayahnya tentu tak ubahnya rekaman sejarah yang akan tetap abadi sepanjang masa. Novriana pun ikut menjadi saksi dari evolusi Kartu Tanda Mahasiswa ini dari masa ke masa sebab ia juga merupakan alumni ITB angkatan 1990. “(Ketika zaman saya) dulu, kartu mahasiswa sudah menjadi seukuran KTP. (Berbeda dengan zaman ayah saya) yang masih berupa 2 lembar kertas karton dilipat di tengah dan ditulis tangan,” tutur Novriana. “Kartu mahasiswa yang saya punya juga sudah berisi keterangan tentang data-data mahasiswa dan bukan sekedar kartu pembayaran (biaya studi),” lanjut peraih gelar Ph.D dari University of London ini.
Adapun kini, Kartu Tanda Mahasiswa ITB sudah memiliki bentuk yang semakin dinamis seiring dengan perkembangan zaman. Ukuran dan material penyusunnya sudah sangat mirip dengan e-KTP. Ia juga sudah dilengkapi dengan fitur RFID (Radio Frequency Identification) yang memungkinkan identifikasi nirkabel untuk keperluan pengambilan data. Fitur ini sudah umum digunakan di kampus ITB untuk beasiswa voucher makan. Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ini cukup menyerahkan KTM miliknya ke petugas kantin yang tersedia untuk di-scan dan ia pun bisa menikmati makan siang secara gratis hingga besaran tertentu pada periode yang ditentukan.
Novriana sendiri turut menyaksikan KTM yang terbaru ini, seiring dengan posisinya sebagai dosen pengampu beberapa mata kuliah. Beliau turut memberikan saran yang konstruktif bagi perguruan tinggi yang masih menjadi tempatnya mengabdi hingga hari ini. “Baiknya KTM juga bisa dipakai untuk daftar hadir mahasiswa karena tentu akan lebih praktis dan memudahkan,” ucap dosen yang baru-baru ini tengah sibuk mengembangkan Signature Algorithm untuk Cryptocurrency Bitcoin. Terakhir Novriana turut berpesan untuk adik-adiknya, para mahasiswa ITB yang masih mengenyam studi di bangku perkuliahan. “Milikilah etiket yang baik dan jangan ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Sebab kesempatan kerja bagi lulusan ITB itu bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di Asia bahkan di dunia,” tutup sang dosen.