Dua mahasiswa Universitas Airlangga terpilih di antara 10 delegasi perguruan tinggi lintas negara yang berkesempatan mengikuti kegiatan bernama Indonesia Global Scholars Forum (IGSF). Forum pertemuan akademik itu berlangsung 23-25 Februari 2018 di Perth, Australia.
Melalui proses seleksi, terpilih 10 makalah yang berhak mengikuti konferensi, salah satunya makalah milik mahasiswa Fakultas Farmasi UNAIR. Dua mahasisawa itu adalah Rebhika Lusiana dan Erwin Chandra Christiawan yang sedang menempuh studi di semester akhir.
Selain UNAIR, delegasi lain berasal dari University of Birmingham, University of Canberra, Wollongong University, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Darussalam Gontor.
“Ada sepuluh makalah yang terpilih. Makalah kami salah satunya,” ujar Rebhika kepada UNAIR NEWS, Rabu (28/2).
Selama tiga hari kegiatan, acara tersebut dilangsungkan di Murdoch University dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Perth.
“Tim kami satu-satunya mahasiswa undergraduate. Delegasi lain kebanyakan postgraduate, sedang mengambil master atau Ph.D,” tambah mahasiswa yang telah mengikuti konferensi di luar negeri sebanyak lima kali itu.
Dalam kegiatan bertemakan Global Maritim Fulcrum itu, Rebhika dan Erwin menyajikan makalah yang membahas kemaritiman Indonesia dalam bidang farmasi. Di bawah bimbingan dosen pembimbing Catur Dian Setiawan, S.Farm., M.Kes., Apt., mereka menyusun makalah dengan judul Intelegente Salzfabrik: The Concept of Self-Integrated Pharmaceutical Raw Materials Industry which is Energy Independence and High Accessibility on Coastal with Sea Toll and Power Flow to Achieve An Imported Medicine Raw Materials Independence in Indonesia.
Dalam makalah tersebut, Rebhika dan Erwin mengusung sebuah konsep industri garam farmasi yang mandiri energi dengan aksesibilitas yang tinggi. Tujuannya, melepaskan Indonesia dari ketergantungan bahan baku impor, terutama garam farmasi. Keduanya menyusun makalah bersama Danik Mahfirotul Hayati. Namun, karena beberapa kendala, Danik urung untuk ikut serta ke Australia.
“Hingga saat ini 95% bahan baku obat di Indonesia masih impor dari berbagai negara. Konsep intelegente salzfabrik yang kami usung ini diharapkan dapat mengentaskan Indonesia dari permasalahan itu,” tambah mahasiswa asal Bojonegoro itu.
“Aussie adalah negara yang bersih, tertip, layaknya negara maju yang lain. Transportasinya sangat membuatku iri. Indonesia harus bisa sepertu itu, bahkan lebih nantinya. Hehe,” kata Rebhika bercerita perihal pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Australia.
Pengalaman bertemu dengan orang-orang hebat, membuat Rebhika semakin merasa harus berkontribusi lebih untuk Indonesia. Rebhika melanjutkan, nasionalisme benar-benar tumbuh ketika sedang berada di negara orang.
“Saya seneng banget bisa ketemu speakers yang hebat-hebat, terutama profesor Hasyim Djalal (diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional, Red), bapak doktor Dino Pati Djalal (diplomat, putra Hasyim Djalal, Red) dan profesor lain. Apalagi ketemu delegasi lain. Seneng banget,” ucap Rebhika.
Sementara Erwin, dengan keikutsertaan konferensi itu, ia dapat mengetahui bahwa banyak sumber daya alam yang ada di kemaritiman Indonesia belum terolah dengan baik. Sebagai mahasiswa farmasi, ia mengaku memiliki banyak peluang untuk mengolah serta mengembangkan kemaritiman Indonesia.
“Banyak negara yang mengincar SDA kelautan disekitar kelautan Indonesia sehingga sebagai bangsa yang ingin ada poros maritim kita harus bekerja sama di setiap stakeholder,” ungkap Erwin.