Nusa Dua Bali, 5 November 2018 – Tidak ada satupun negara yang bebas dari ancaman kesehatan. Untuk itu, setiap negara perlu saling mengingatkan dan menguatkan satu dengan yang lain, agar masalah kesehatan bisa diminimalisasi risikonya.
Demikian pernyataan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, saat memberikan penjelasan kepada sejumlah media di hari pertama pelaksanaan kegiatan pertemuan tingkat menteri The 5th Global Health Security Agenda (GHSA) di Nusa Dua Bali, Senin petang (5/11). Turut hadir pada kesempatan tersebut Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, dan Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Kemenkes RI, Acep Somantri.
Seperti diketahui, negara-negara anggota WHO telah bersepakat dan berkomitmen untuk mengimplementasikan International Health Regulation (IHR) tahun 2005 yang berfokus pada kemampuan negara-negara di tingkat global dalam kewaspadaan dan deteksi dini serta respon yang adekuat terhadap setiap ancaman kesehatan yang berpotensi menyebar antar negara.
Adapun ancaman kesehatan yang dimaksud, diantaranya penyakit yang sudah ada (emerging disease), penyakit baru (new emerging disease) dan penyakit yang muncul kembali (re-emerging disease) serta penyakit tidak menular yang diakibatkan dari penggunaan bahan kimia, radio-nuklir, dan sebagainya, yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD) atau public health emergency of international concern (PHEIC).
Dengan kata lain, IHR 2005 mengamanatkan agar negara-negara harus mampu mendeteksi risiko kedaruratan kesehatan masyarakat, mampu menilai dan merespons serta menginformasikan kejadian di wilayah maupun di pintu masuk negara kepada masyarakat baik di tingkat nasional maupun internasional. Indonesia, dalam world health assembly (WHA) ke-58 pada tahun 2014, telah mengumumkan komitmen pelaksanaan IHR 2005 secara menyeluruh.
‘Negara-negara yang tergabung di GHSA saling menguatkan kapasitas satu sama lain. Indonesia diperkuat negara lain, sebaliknya kita pun membantu memperkuat negara lain,” tutur Anung.
Anung menekankan bahwa negara-negara anggota GHSA berfokus pada pencegahan dengan tidak mengabaikan penanganan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, setiap negara perlu mengenali berbagai risiko atau potensi masalah kesehatan masyarakat di wilayahnya.
”Indonesia merupakan salah satu daerah yang menjadi jalur migrasi unggas liar misalnya. Selain itu, di dalam riset Rikhus Vektora (2016), Badan Litbangkes Kemenkes menemukan 22 spesies kelelawar yang terkonfirmasi mengandung virus (baca: Japanese Enchepalitis/JE) di beberapa daerah di Indonesia, dan penyakit ini belum pernah disebutkan ada di Indonesia. Hal ini perlu kita antisipasi, karena kita mengetahui ada sebagian masyarakat kita yang mengonsumsi unggas liar juga kelelawar dengan berbagai alasan,” ungkap Anung.
Untuk itu, Anung menggarisbawahi pentingnya konsep One Health untuk dipahami oleh lintas kementerian dan lembaga di setiap negara, karena kesehatan bukan hanya tentang manusia, tetapi juga hewan. Kita memahami bahwa penyakit yang diderita hewan dapat berdampak kepada manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, Anung menambahkan bahwa penyakit infeksi baru yang mengancam kesehatan global sebagian besar bersumber dari hewan atau bersifat zoonosis.