Pertama di Indonesia, Industri Minuman Ringan Terapkan Teknologi HPP

Industri makanan dan minuman di Indonesia semakin siap menerapkan revolusi industri 4.0 dengan pemanfaatan teknologi terkini. Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, sektor ini menjadi salah satu yang mendapat prioritas pengembangannya agar menjadi pionir dalam era ekonomi digital.

 

“Salah satu tujuan dari implementasi industri 4.0 adalah menggunakan teknologi terkini, sehingga dapat menghasilkan produk yang premium dan mampu bersaing di pasar global,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Peresmian Fasilitas Produksi Jus dengan Teknologi High Pressure Processing (HPP) di PT. Sewu Segar Primatama (SSP), Tengerang, Banten, Rabu (12/12).

Menperin menjelaskan, pihaknya terus mendorong industri makanan dan minuman bisa menjadi contoh dalam memasuki era industri 4.0. Pasalnya, sektor ini memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi, dengan didukung oleh sumberdaya alam yang berlimpah dan permintaan domestik yang besar. ”Selain itu mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional,” ujarnya.

Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian memberikan apresiasi kepada PT SSP yang membangun fasilitas produksinya (Real Cold-Pressed Facility/CPF) secara terintegrasi dengan teknologi HPP. Metode HPP ini membuat perusahaan dengan merek dagang produk Re.juve ini menjaga kandungan nutrisi dan memperpanjang masa pajang produk (shelf life) hingga enam kali lebih lama tanpa bahan pengawet.

 

“Ini adalah pabrik pertama di Indonesia yang terintegrasi dengan menggunakan teknologi HPP. Tentunya pabrik ini dapat meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri dari sektor holtikultura,” tuturnya. PT SSP selaku industri minuman ringan (jus dalam kemasan botol plastik) ini menyerap bahan baku lokal sebanyak 75 persen.

Menurut Airlangga, peresmian fasilitas PT SSP tersebut menjadi momentum tepat untuk merevitalisasi sektor industri makanan dan minuman di Indonesia agar lebih modern dan berdaya saing global. “Baru sedikit negara di Asia bahkan dunia yang mengadopsi teknologi HPP, sehingga kita harus mengambil keuntungan dari keunggulan tersebut,” tegasnya.

Menperin meyakini, upaya tersebut dapat mewujudkan aspirasi besar Making Indonesia 4.0, yakni menjadikan Indonesia masuk sebagai 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030. “Kuncinya di industri 4.0 adalah sumber daya manusia dan teknologi,” tandasnya.

Sejak berdiri pada tahun 2014, PT SSP telah menyerap tenaga kerja di bagian produksi sebanyak 60 orang, serta didukung 200 orang di gerai dan 30 orang di back office. “Dengan adanya investasi ini, diharapkan produk yang dihasilkan tidak hanya dijual di Indonesia, tetapi juga diekspor ke Singapura, Hongkong, dan negara Asean lainnya,” imbuhnya.

 

Managing Director PT Sewu Segar Primatama Richard Anthony menyampaikan, pengadopsian teknologi HPP merupakan langkah strategis dalam rencana ekspansi Re.juve. “Dengan fasilitas terbaru ini, kami memiliki kapasitas tahunan mencapai 15 juta botol, sehingga bisa merambah pasar di luar Jabodetabek dapat menikmati produk cold-pressed juice yang 100 persen segar, murni, dan alami,” ungkapnya.

Teknologi HPP milik PT SSP dipasok oleh Hiperbaric, penyedia peralatan teknologi HPP terbaik di dunia, yang telah merevolusi industri makanan dan minuman di Amerika Serikat dan Eropa dalam menikmati minuman dan makanan segar, termasuk cold-pressed juice.

“Produk Re.juve 100 persen segar karena terbuat darihampir 1 kg buah dan sayur per botol (bukan konsentrat), 100 persen murni tanpa air, gula, pemanis buatan, atau pengawet, dan 100persen alami karena menggunakan bahan mentah tanpa proses pemanasan,” papar Richard.

 

Potensi industri olahan buah

Pada kesempatan yang sama, Menperin mengemukakan, Indonesia sebagai negara tropis penghasil buah-buahan mempunyai potensi dalam pengembanganindustri olahanuntuk produk buah dalam kaleng, minuman sari buah, manisan buah, selai dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan penerapan teknologi terkini agar dapat meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri dan produkberdaya saing tinggi.

“Konsumsi olahan buah masyarakat Indonesia yang masih rendah memiliki peluang besar untuk terus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat dan meningkatnya penghasilan masyarakat,” ujarnya.Apalagi, Indonesia juga dikenal sebagai eksportir utama produk olahan buah di dunia utamanya nanas dalam kaleng.

Menperin menambahkan, pihaknya berkomitmen untuk membangun industri manufaktur nasional yang berdaya saing global melalui percepatan implementasi industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 tidak hanya berpotensi luar biasa dalam merombak industri manufaktur, tetapi juga mengubah berbagai aspek kehidupan manusia.

 

“Kita telah melihat banyak negara, baik yang maju maupun berkembang, telah memasukkan gerakan ini ke dalam agenda nasional mereka sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Oleh karena itu, kita telah meluncurkan Making Indonesia 4.0,” paparnya.

Salah satu target di dalam peta jalan terebut, yakni Indonesia menjadi pemain utama industri makanan dan minuman di dunia. “Fokus produk pada 3-5 tahun ke depan salah satunya adalah olahan buah dan sayuran dengan tujuan utama mengurangi ketergantungan impor bahan baku produk pertanian meningkatkan efisiensi di seluruh rantai nilai industri melalui penerapan industri 4.0,” jelas Airlangga.

Selain itu, dengan menguasai teknologi yang menjadi ciri khas era Industri 4.0, antara lain artificial intelligence, internet of things, big data, advanced robotics dan 3D printing. “Diharapkan, industri makanan dan minuman, mampu menjadi pengungkit dalam memacu pertumbuhan industri manufaktur nasional, termasuk menciptakan lapangan kerja,” imbuhnya.

Kemenperin mencatat, industri minuman mampu menunjukkan kinerja yang membanggakan, dengan pertumbuhan sebesar 10,19 persenpada periode Januari-Septembertahun 2018.Capaian ini jauh di atas pertumbuhan industri nasional yang mencapai 5,17% di periode yang sama.

 

Peran industri makanan dan minuman dalam perekonomian Indonesia juga sangat signifikan. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor makanan dan minuman sebesar 35,73 persen terhadap PDB industri non-migas pada triwulan III tahun 2018.

Sementara itu, pertumbuhan ekspor periode Januari-September tahun 2018 untuk industri makanantumbuh sebesar 3,22 persen dan untuk industri minuman tumbuh sebesar 13,00 persen. Bahkan,industri makanan dan minuman mendominasi penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur, yaknisebanyak 3,3 juta orang atau sebesar 21,34 persen dari total pekerja di bidang industri.

Related posts

Leave a Reply