Jakarta (06/03) Negara harus hadir dengan upaya strategis dan lebih masif dalam merespon hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas usia anak dan “memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun”. Perkawinan anak mengancam Ketahanan Nasional dan tidak sejalan dengan jaminan Negara dalam pemenuhan hak anak untuk tumbuh kembang yang optimal.
“Putusan progresif ini tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk seluruh anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanahkan Pemerintah bersama pembentuk Undang-Undang diberi waktu 3 tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Tentu kerja keras ini akan kita lakukan bersama. Jika angka perkawinan anak terus meningkat dan terus dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami ancaman Ketahanan Nasional,” pungkas Sekretaris Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu pada kegiatan Seminar Nasional “Menindaklanjuti Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk Merevisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” yang diselenggarakan oleh Kementerian PPPA, sebagai rangkaian peringatan Hari Internasional Perempuan.
Senada dengan Pribudiarta, Staf Khusus Presiden, Ruhaini mengatakan bahwa keputusan MK membawa angin segar bagi upaya Negara dalam memberikan perlindungan anak yang optimal, dimana usia perkawinan harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Lebih lanjut lagi, Ruhaini mengatakan bahwa Indonesia diharapkan menjadi pionir untuk mencegah perkawinan anak di kalangan negara – negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono yang juga hadir sebagai narasumber menyatakan bahwa MK memberikan mandat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setelah mempertimbangkan dalil “diskriminasi” yang ditonjolkan oleh pihak pemohon, karena MK melihat adanya pembedaan usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (menurunnya ekonomi). Penghapusan perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada pencapaian SDG’s namun juga berpengaruh untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA),” ujar Lenny.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dimana 1 dari 4 atau 23% anak perempuan menikah pada usia anak. Setiap tahun sekitar 340.000 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17%. Jika dilihat dari sebaran wilayah, maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional, tegas Lenny.
Menanggapi fenomena perkawinan anak yang memprihatinkan tersebut, Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher mengingatkan bahwa masa aktif anggota DPR hanya tersisa 3 bulan, sehingga ia mendorong Pemerintah agar mempercepat sekaligus mengawal revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan mempertajam aspek-aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis. Lebih lanjut lagi, Hakim Yustisial Mahkamah Agung (MA) RI, Mardi Candra menegaskan bahwa Negara membutuhkan hakim-hakim progresif yang dapat mempersulit perkawinan anak dan tidak memberikan ruang bagi dispensasi perkawinan. Lebih lanjut lagi, perkawinan anak dari segi agama menurut Perwakilan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Nur Rofiah bahwa hukum mencegah pernikahan anak yang menimbulkan kemudlaratan dalam konteks perwujudkan kemaslahatan keluarga sakinah adalah wajib.
Sejauh ini, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka perkawinan anak. Pada Desember 2018 telah dilakukan peluncuran “Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak” yang melibatkan Kementerian/Lembaga, lembaga masyarakat dan media. Beberapa inisiatif daerah juga ditunjukkan, misalnya oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat yang telah mengeluarkan Surat Edaran Gubernur bahwa anak perempuan yang telah “diboyong” tidak perlu menikah, tetapi dapat menunggu hingga mereka berusia 18 tahun atau telah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan baru mereka diperbolehkan menikah.
“Kami berharap hasil Seminar Nasional hari ini dapat mempercepat Pemerintah sebagai bentuk Negara hadir dalam merumuskan langkah-langkah konkrit demi menjamin pemenuhan hak anak untuk menghapus praktik perkawinan anak. Kami juga menyampaikan penghargaan yang tinggi atas kontribusi dari semua pihak, khususnya kementerian/lembaga, para penggiat, lembaga masyarakat dan media yang selalu memberikan dukungan komitmen atas upaya-upaya pencegahan perkawinan anak dalam mengawal Generasi Emas Berkualitas, Berdaya Saing dan Tidak Mengalami Perkawinan di Usia Anak,” tutup Lenny.