Jakarta – Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 70 mengatur bahwa setiap pekerja konstruksi yang bekerja di sektor Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus melakukan percepatan sertifikasi tenaga kerja. Namun, untuk dapat mewujudkan amanah tersebut kolaborasi dari berbagai sektor diperlukan seperti dengan Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Pemerintah Daerah dan Perguruan Tinggi.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa program sertifikasi tidak hanya meningkatkan kompetensi, namun juga Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) konstruksi. Sertifikasi diberikan untuk tenaga kerja tingkat ahli seperti ahli K3 maupun tingkat terampil seperti tukang kayu dan pembesian. Program sertifikasi juga akan berpengaruh kepada kesejahteraan tenaga kerja konstruksi karena besaran upah yang diterima mengacu billing rate atau standar upah yang sudah ditetapkan berdasarkan sertifikat yang dimiliki. Demikian pula bila yang bersangkutan bekerja di luar negeri.
“Dalam pelelangan proyek konstruksi, kepemilikan sertifikat keahlian adalah keharusan karena sudah diatur dalam UU No.2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Artinya orang yang punya sertifikat tidak akan menganggur atau lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan,” ujar Menteri Basuki beberapa waktu lalu.
Direktur Bina Penyelenggara Jasa Konstruksi Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Konstruksi Kementerian PUPR Sumito mengatakan, untuk menghasilkan SDM konstruksi berkualitas, tentunya melalui proses sertifikasi kompetensi. “Dari undang-undang tersebut, kita dorong para pekerja Konstruksi untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) konstruksi. Peningkatan K3 merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang Jasa Konstruksi,” katanya saat menjadi narasumber program “Aduanku” di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro3 FM Jakarta bersama Anggota Ombudsman RI Laode Ida, Rabu (28/11/2018).
Menurut Sumito saat ini dari sekitar 8 juta pekerja di bidang konstruksi, baru sekitar 760.000 orang yang telah bersertifikat. Untuk itu Kementerian PUPR memprogramkan percepatan sertifikasi pekerja konstruksi di tahun ini dan tahun depan. “Jadi intinya, siapapun yg bekerja di jasa konstruksi harus kompeten dan mutunya terjamin untuk meminimalisasi terjadinya kecelakaan-kecelakaan konstruksi,” ungkapnya.
Dalam melaksanakan program tersebut, menurut Sumito, Kementerian PUPR bekerjasama dengan stakeholder lainnya seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN), Pemerintah Daerah, Asosiasi, Perusahaan Konstruksi, Perguruan Tinggi, SMK, dan Lembaga Pemasyarakatan. Metode pelatihan dalam program sertifikasi dilakukan dengan penyampaian materi dan praktik di lapangan.
Untuk dapat melakukan percepatan menghasilkan tenaga kerja konstruksi bersertifikat, Kementerian PUPR telah melakukan berbagai inovasi seperti Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi Jarak Jauh atau juga dikenal dengan Sistem Informasi Belajar Intensif Mandiri (SIBIMA) yang berhasil menjadi salah satu Top 99 Inovasi Pelayanan Publik di tahun 2016, dan menghasilkan 11.846 peserta terlatih dan bersertifikat. Kemudian dengan menggunakan Mobile Training Unit yang mampu menjangkau tempat-tempat yang terpencil, dimana dari kurun waktu 2015 hingga 2017, telah dihasilkan 26.729 tenaga kerja bersertifikat.
“Selain itu Kementerian PUPR juga melakukan Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi Jarak Jauh atau dikenal dengan SIBIMA dan pelatihan dengan mendatangkan Mobile Training Unit,” tambahnya.
Pada 31 Oktober 2018 lalu, Kementerian PUPR juga menyelenggarakan kegiatan sertifikasi massal kepada 10.000 peserta bersamaan dengan event Konstruksi Indonesia 2018 dan Indonesia Infrastructure Week 2018. Kegiatan sertifikasi terdiri dari penyampaian materi, praktek lapangan dan diakhiri dengan uji kompetensi.
Dari 10.000 orang yang ikut sertifikasi, terdapat 1.300 siswa dari pendidikan vokasi, yaitu siswa SMK dan politeknik, yang merupakan hasil kerjasama Kementerian
PUPR dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu juga terdapat 2.030 warga binaan lembaga pemasyarakatan yang telah mengikuti sertifikasi bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM beberapa waktu lalu.
Sementara itu Anggota Ombudsman RI Laode Ida mendukung adanya program sertifikasi pekerja di bidang konstruksi. Pekerja harus kompeten di bidangnya. Karena kalau tidak kompeten itu berpengaruh pada kualitas, bahkan mencelelakakan dirinya,” jelasnya.