Jakarta (16/01) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) untuk pertama kalinya menggelar pertemuan regional Data Management Committee (DMC) di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (16/1).
Dalam pertemuan tersebut dibahas berbagai isu perikanan berkelanjutan skala kecil, termasuk isu pendataan perikanan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar mengatakan, KKP terus mendorong optimalisasi peran nelayan dan pengusaha perikanan skala kecil melalui pengelolaan perikanan tuna, cakalang, dan tongkol (TCT). Salah satunya dengan penerapan praktik penangkapan ikan secara bertanggung jawab dengan memanfaatkan peluang pasar.
Oleh karena itu, dalam kegiatan tersebut turut diundang puluhan nelayan TCT, supplier perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi dan kota/kabupaten, akademisi, pelaku industri, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mitra.
Zulficar mengungkapkan, Indonesia merupakan negara penghasil produk perikanan tuna terbesar di dunia menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) tahun 2018. Kontribusi perikanan tuna Indonesia sekitar 16 persen terhadap produksi perikanan tuna dunia. Sementara itu, hasil tangkapan TCT Indonesia memberikan kontribusi sekitar 20 persen terhadap total produk perikanan nasional.
“Fakta yang membanggakan adalah 70 persen lebih hasil TCT di Indonesia merupakan hasil tangkapan nelayan skala kecil. Ini artinya, para nelayan kita turut andil atas keberhasilan Indonesia menjadi penyumbang produk tuna terbesar di dunia. Hal ini juga berarti bahwa perikanan tuna skala kecil mampu menyumbang bahkan menjadi andalan kedaulatan pangan nasional,” jelas Zulficar.
Di saat yang bersamaan, sektor perikanan skala kecil ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi karena komitmen pemerintah Indonesia memberantas Ilegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) telah berhasil membuat potensi stok ikan di Indonesia mencapai 12,54 juta ton (belum termasuk termasuk tuna dan cakalang).
Langkah pemerintah dalam mengoptimalkan peran nelayan ini dijembatani melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 107 Tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT). Keputusan ini menjadi acuan operasional dalam pelaksanaan praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya TCT secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, termasuk para pemangku kepentingan lainnya untuk periode 2015-2019.
“Tahun ini akan kita evaluasi hal-hal apa yang perlu diperbaiki untuk pelaksanaan rencana aksi perikanan tuna berikutnya di tahun 2020-2024. Kita juga telah menggandeng berbagai pihak, salah satunya membuat MoU dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dalam penyusunan maupun pelaksanaan RPP TCT (National Tuna Management Plan),” papar Zulficar lebih lanjut.
Dalam kesempatan tersebut, Zulficar juga menyampaikan apresiasi kepada MDPI atas inisiatifnya membantu meningkatkan kapasitas nelayan kecil di Indonesia. Menurutnya, MDPI telah membantu pemerintah melaksanakan penguatan pengumpulan data melalui penggunaan teknologi untuk memastikan ketelusuran data, implementasi harvest strategy, dan penguatan rantai suplai, serta penguatan kelembagaan dengan adanya komite pengelola data perikanan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, termasuk pemerintah daerah, nelayan kecil, supplier, hingga akademisi.
“Melalui kerja sama ini pula, MDPI mengembangkan skema fair trade yang bertujuan untuk memberikan insentif berupa tambahan pemasukan bagi nelayan. Peluang pemanfaatan pasar internasional lainnya juga terbuka, misalnya dengan pelaksanaan Fisheries Improvement Program (FIP) dengan tujuan akhir keberlanjutan sumber daya ikan, yang mana bonus proses tersebut adalah Sertifikat MSC Eco-Label,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan MDPI Saut Tampubolon mengatakan, upaya pendataan yang dilakukan dapat dimaksimalkan dengan kolaborasi yang baik antar-pemangku kepentingan. Menurutnya pendataan ini penting untuk memperlancar kegiatan ekspor produk perikanan Indonesia, terutama ekspor tuna sirip kuning (yellowfin tuna).
Menurut dia, kebanyakan pasar ekspor mensyaratkan ketertelusuran produk perikanan yang masuk ke negaranya. Pendataan adalah salah satu cara untuk mewujudkan ketertelusuran tersebut. “Dari data yang ada saat ini, tuna yang banyak di-tagging adalah berasal dari perairan Indonesia,” ujarnya.
Namun Saut menyadari, Indonesia masih membutuhkan data yang lebih akurat dan lebih lengkap untuk bisa mengelola hasil perikanan dengan baik. Data yang dibutuhkan tak sekadar hasil tangkapan ikan yang dijual, melainkan juga keberadaan hewan terancam, terancam punah, dan dilindungi (endangered, threatened, and protected/ETP) untuk mengetahui konsidi ekosistem laut kita.
Sebagai informasi, guna memastikan penyerapan hasil tangkapan nelayan Indonesia, dalam forum Bali Tuna Conference tahun lalu, KKP telah menandatangani Joint Commitment dengan International Pole and Line Foundation (IPNLF). Dalam kesepakatan tersebut, terdapat 14 buyers/retailers internasional yang siap membeli produk perikanan Indonesia yang tersertifikasi dengan harga premium.
Oleh karena itu, berbagai program perbaikan sistem ketelusuran ikan dan produk perikanan terus diupayakan KKP. Tujuannya agar terjadi peningkatan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan sehingga meningkatkan kesejahteraan nelayan Indonesia.