Beberapa anak muda kini lebih tertarik untuk melakukan pernikahan dini, terbukti dari data yang menyebutkan pernikahan anak angkanya semakin meningkat setiap tahunnya. Dari laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat ada 1.000 anak perempuan yang menikah setiap harinya.
Padahal, hal ini tentunya berdampak buruk pada kesehatan dan reproduksi, sehingga pernikahan anak di bawah umur sebaiknya tidak terjadi. Terlebih jika akhirnya terjadinya kehamilan yang sebenarnya belum cukup aman bagi anak di usia remaja.
“Faktor-faktor yang mendorong perkawinan di usia muda diantaranya faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor orang tua, faktor diri sendiri dan faktor adat setempat.” Kata dr. Rikyanto SpKK doker spesialis kulit dan kelamin RSUD Wirosaban saat menjadi narasumber Seminar Sosialisasi Kesehatan Mahasiswa dengan tema ”Dilematika Pernikahan; Menikah Muda?Telat Menikah” yang diselenggarakan Klinik Pratama Suka Health Center dan UKM PIK-M Lingkar Seroja UIN Sunan Kalijaga di gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH. Sabtu (6/10).
Dr. Rikyanto mengatakan perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang istri atau suami yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang perkawinan.
Lebih lanjut dr. Rikyanto menjelaskan anak muda sekarang perlu mengenal program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). PUP merupakan upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa.
Dr. Rikyanto menambahkan tujuan program pendewasaan usia perkawinan, adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran.
Sementara Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof. Drs. Koentjoro, MBSC. Ph.D menuturkan untuk menuju keluarga dengan baiti janati yang perlu menerapkan konsep SMEPPPA, yang merupakan sebuah singkatan dari Senyum, Mendengarkan, Empati, Peka, Peduli, Pandai Memuji dan Aksi dengan mempraktekkan langsung.
“Kekuatan hubungan perkawinan ada pada keterampilan berkomunikasi. Bagaimana cara memecahkan masalah dengan konsep rukun, meski ada konflik tapi dijaga agar tidak muncul ke permukaan. Kebahagiaan itu diciptakan bukan dicari, karena itu dengan bersyukur, menjaga dan merawat hubungan suami-istri bisa membuat keluarga harmonis”. tutur Koentjoro.