Kementerian Perindustrian bersama pemangku kepentingan terkait semakin memperkuat kolaborasi dalam upaya melakukan transformasi ke arah implementasi revolusi industri 4.0 di Indonesia. Salah satu langkah sinergi yang tengah dilaksanakan adalah melengkapi beberapa perangkat teknologi terkini yang dibutuhkan oleh sektor manufaktur nasional guna membangun konektivitas terintegrasi.
“Revolusi industri 4.0 merupakan sebuah lompatan besar di sektor manufaktur,dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secarapenuh. Tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai agar meningkatkan kualitas dan efisiensi dalam proses produksi,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara pada acara Workshop Pendalaman Kebijakan Industri dengan Forum Wartawan Industri (Forwin) di Yogyakarta, Kamis (30/8).
Menurut Ngakan, banyak negara mulai menata sektor industrinya supaya mampu menopang kegiatan perekonomiannya secara menyeluruh. “Jadi, mereka telah menyiapkan diri untuk penerapan revolusi industri 4.0, antara lain melalui konektivitas yang kuat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, industri nasional perlu melakukan pembenahan, terutama pada aspek penguasaanteknologi digital yang menjadi kunci utama untuk penentu daya saing dan peningkatan produktivitas di era industri 4.0.
“Misalnya, pemanfaatan teknologi Internet of Things, Big Data, Cloud Computing, Artificial Intellegence, Mobility, Virtual dan Augmented Reality, sistem sensor dan otomasi, serta Virtual Branding,” sebutnya.
Di samping itu, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0 yang telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada April lalu, pemerintah dan stakeholders telah memiliki pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam memacu pertumbuhan dan daya saing industri nasional di kancah global.
Aspirasi besar yang ditetapkan, yakni menjadikan Indonesia masuk pada jajaran 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.
“Jadi, semua pihak harus bergerak bersama, karena Making Indonesia 4.0 juga merupakan agenda nasional,” tegas Ngakan. Bahkan, peta jalan tersebut diyakini dapat membangun optimisme yang positif.
“Apalagi, Indonesia memiliki modal besar untuk sukses menerapkan industri 4.0. Setidaknya, terdapat dua hal yang mendukung pengembangan industri di era digital, yaitu pasar yang besar dan jumlah sumber daya manusia yang produktif seiring dengan bonus demografi,” paparnya.
Ngakan menyampaikan, implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sebesar 1-2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari baseline sebesar 5 persen menjadi 6-7 persen selama tahun 2018-2030.
“Selain itu, angka ekspor netto kita akan meningkat kembali sebesar 10 persen dari PDB. Kemudian, terjadi peningkatan produktivitas dengan adopsi teknologi dan inovasi, serta mewujudkan pembukaan lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang pada tahun 2030,” imbuhnya.
Guna mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan tersebut, pada tahap awal implementasi Making Indonesia 4.0, terdapat lima sektor industri yang diprioritaskan pengembangannya untuk menjadi pionir, yakni industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, serta elektronika.
“Sektor industri prioritas itu diyakini mempunyai daya ungkit besar dalam hal penciptaan nilai tambah, perdagangan, besaran investasi, dampak terhadap industri lainnya, serta kecepatan penetrasi pasar,” ujar Ngakan.
Pada triwulan II tahun 2018, pertumbuhan industri makanan dan minuman mencapai 8,67 persen, serta industri tekstil dan pakaian jadi menembus hingga 6,39 persen. Kinerja dari sektor-sektor manufaktur ini mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
Selanjutnya, sepanjang semester I-2018, industri makanan memberikan kontribusi tertinggi hingga 47,50 persen dengan nilai Rp21,9 triliun terhadap penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor manufaktur, diikuti industri kimia dan farmasi dengan menyumbang 14,04 persen (Rp6,4 triliun).
Sedangkan, untuk kontribusi terhadap PMA di sektor manufaktur, industri kimia dan farmasi tercatat menyumbangkan sebesar 18,84 persen (USD1,1 miliar), serta industri makanan 10,41 persen (USD586 juta)