Islam Nusantara Berkemajuan Sebagai Identitas Islam Indonesia

Islam Nusantara yang Berkemajuan bisa menjadi identitas bagi Islam di Indonesia untuk tampil ke dunia. Konsep ini harus menjadi representasi Islam yang damai di dunia dan melawan gerakan politik Islam transnasional yang menampik keberagaman.

Demikian kata Staf Khusus Presiden Bidang Keaagamaan Internasional, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A., dalam seminar bertema ‘Keberagaman di Era Pasca-Kebenaran dalam Prespektif Agama’ sebagai bagian konferensi sosiologi agama di gedug Prof. RHA. Soenarjo, SH, UIN Sunan Kalijaga, Selasa(17/7) kemarin.

Siti Ruhaini menuturkan bahwa Islam Nusantara Berkemajuan adalah identitas Islam di Indonesia yang berasal dari dua organisasi Islam besar yang sudah mengakar di masyarakat, NU dan Muhammadiyah. “ Islam di Indonesia sebenarnya memiliki nilai wasatiyah atau moderat seperti dikembangkan NU dan Muhammadiyah. Dan Konsep ini sebenarnya mampu menjawab tantangan dunia dan kondisi Islam saat ini.” Tutur Siti.

Lanjut Siti Ruhaini, Islam berkembang di Indonesia yang ditakdirkan menjadi negeri beragam dan multikultural. Dengan kondisi itu, sentimen-sentimen negatif atas dasar agama demi kepentingan politik sebenarnya tak diperlukan. Sentimen agama  yang marak di era pasca-kebenaran (post truth) saat ini digunakan politisi  sebagai modal untuk mencapai kekuasaan.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. KH Yudian Wahyudi, P.hD mengatakan salah satu kemunduran dunia Islam saat ini disebabkan cara berpikir umat yang teologis. Karena dulu dunia Islam telah membuang eksperimental saintis yang bersifat sosiologis. “ Islam itu teologis dan juga sosiologis. Seperti membaca al-quran itu teologis, dan untuk cara membacanya bersifat sosiologis,” kata Yudian saat menyampaikan sambutan.

Menurut Yudian ketika kita bernegara peran agama itu sosiologis. Pancasila selain religius butuh juga sekularitas, yang pelaksanaannya butuh manusia sebagai peran sosiologis. Yudian berharap masyarakat Indonesia tidak boleh berfikir secara teologis saja khususnya dalam beragama, perlu berfikir secara sosiologis agar terhindar dari sikap syirik ilmiah.

Hal senada diutarakan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., MA bahwa Indonesia juga memiliki tantangan untuk mendefinisikan kembali keberagaman. Dalam persoalan terkait agama, sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perlu dikritisi karena beberapa agama di Indonesia tidak mengenal satu Tuhan. “Bangsa kita itu sangat fleksibel. Dulu kita beragama Hindu, kemudian konversi ke Budha. Setelah itu memeluk Islam dan juga sebagian Kristen. Itu menunjukkan bahwa bangsa kita itu fleksibel dalam memegang iman,” lanjut Al Makin

Al Makin menambahkan konsep “Islam Nusantara yang Berkemajuan”  bisa menjadi obat mujarab mengatasi gerakan politik Islam transnasional yang menghilangkan batas negara dan menolak keberagamaan yang menyebabkan  lahirnya radikalisme dan sentimen agama. Menurut dia, di tengah gempuran informasi yang memutarbalikkan fakta dan memecah belah, saatnya Indonesia mengambil peran melahirkan pandangan Islam yang menerima keberagaman.

Wakil Sekretaris tim SIMAN (Sinergi Media Sosial Aparatur Negara) Pusat, Kemenpolhukam Republik Indonesia Dr. Arwin Datumaya Wahyudi Sumari menegaskan informasi pada era pasca-kebenaran (post-truth) dipengaruhi secara signifikan oleh Fasilitas di media sosial. Dampak fatal dari serangan informasi post-truth adalah berubahnya mindset dan persepsi masyarakat. “Problem tersebut bisa diluruskan melalui bijak bermedia sosial.  Dalam konteks Negara, SIMAN hadir untuk menjaga Bangsa dan Negara dari serangan informasi Pasca-Kebenaran,” kata Arwin.

Sementara Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si menjelaskan keberagaman di era post-truth muncul ketika fenomena post factual yang massif, dengan hantaran media teknologi mengakibatkan masyarakat beragama tidak mengakui terhadap kebenaran dalam agama lain. “ Salah satunya merebaknya media sosial yang radikal secara ide dan pemikiran,” kata Dadang.

“Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, maka masyarakat tersebut kurang sehat. Ia bagaikan bangunan yang lemah fondasiya, yang kalau ada badai yang menimpa akan cepat runtuh, tambah Dadang.

Dadang menjelaskan bagaimana agar kita tidak ikut dalam arus post-truth yakni dengan meninjau ulang kebenaran sebuah fakta. Tumbuhkan kritisisme, beragama berdasari kitab suci, Jauhi HOAX dan jangan mudah percaya pada informasi yang belum tentu sumber kebenarannya.

Related posts

Leave a Reply