Dukung Pembangunan Perikanan Berkelanjutan, Indonesia Beri Rekomendasi Penanganan IUUF Dan TOFC

Jakarta (30/7) – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menaruh perhatian khusus terhadap persoalan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF) dan kejahatan perikanan terorganisir lintas negara (Transnational Organized Fisheries Crime/TOFC) yang tengah mengancam dunia. Untuk itu, Indonesia mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk penanganan persoalan global ini.

 

Read More

Dalam rangka penanggulangan IUUF, Indonesia merekomendasikan penguatan tata kelola laut lepas di samping terus meninjau rencana aksi nasional dan regional. Upaya ini tentunya didukung dengan peningkatan transparansi global.

Sementara itu, dalam pemberantasan TOFC, Indonesia menilai perlu adanya pemahaman umum dunia akan bahayanya TOFC ini.

Rekomendasi ini disampaikan sebagai hasil The High Level Panel (HLP) Workshop International on IUU Fishing and Organized Crimes in the Fishing Industry yang diselenggarakan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) bersama dan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) di Kantor KKP, Jakarta Pusat pada 22-23 Juli lalu.

 

Kegiatan ini merupakan wadah para pemimpin dunia yang berkomitmen mengembangkan dan mendukung solusi untuk kesehatan dan kekayaan laut dalam hal kebijakan, tata kelola, teknologi, dan keuangan. Diikuti 14 pemimpin negara dari seluruh dunia, kegiatan ini mendukung Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan membangun masa depan yang lebih baik untuk masyarakat dunia.

Hadir sebagai pembicara dalam HLP ini, Mari Elka Pangestu (Co-chair of the High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy Expert Group); Hassan Wirajuda (Co-Lead Author of Blue Papers/BP 15 on IUU Fishing and Associated Drivers); Tony Long (Global Fishing Watch and Co-Lead Author of BP 15 on IUU Fishing and Associated Drivers); Achmad Santosa (Co-Lead Author of BP 16 on Organized Crimes Associated with Fisheries); Peter Horn (PEW Charitable Trust); Peter Hammardstedt (Sea Sheperd); Marco Fais (INTERPOL); serta Loius Hoffman (Organisasi Internasional untuk Migrasi/IOM).

HLP memprakarsai pengembangan serangkaian Blue Papers yang akan merangkum ilmu pengetahuan terbaru, mengintegrasikan pemikiran modern tentang solusi laut yang inovatif, dan fokus pada implikasi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial negara-negara berkembang. Dua Blue Papers yang dibahas selama lokakarya ini adalah Blue Paper 15 on Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing dan Blue Paper 16 on Transnational Organized Crime in Fisheries.

 

Blue Paper merupakan dokumen yang akan menjadi dasar bagi negara-negara anggota HLP dalam mengambil kebijakan untuk implementasi praktik perikanan yang berkelanjutan. Blue Paper 15 dan Blue Paper 16 diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif mengenai kondisi upaya melawan IUUF dan TOFC pada tingkat global beserta rekomendasinya.

Blue Paper 15 Indonesia membahas mengenai beberapa modus operandi praktik IUUF di wilayah ZEE maupun laut lepas, kelemahan sistem yang secara tidak langsung mendukung praktik IUUF, dan solusi untuk membenahi pengelolaan laut agar terbebas dari praktik IUUF. Modus operandi tersebut termasuk transshipment at-sea alias alih muat kapal di laut, penggunaan flags of convenience di laut lepas untuk menghindari pemantauan dan penegakan hukum, dan ports of convenience untuk menghindari inspeksi yang ketat.

 

Selain itu, Blue Paper 15 membahas mengenai permasalahan lainnya yang mengancam keamanan maritim, seperti tindak pidana penyelundupan secara ilegal, perdagangan orang, perbudakan, dan pembajakan.

“Pembenahan pengelolaan laut dunia dapat dilakukan melalui pembentukan norma dasar yang diterima secara internasional, optimalisasi peran institusi/organisasi internasional, dan pembentukan jaringan permanen dalam penanganan kasus untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama antarnegara dan dengan institusi internasional yang ada,” ungkap Kepala BRSDM Sjarief Widjaja selaku Lead Author Blue Paper 15.

Namun ia menilai, masih ada beberapa kelemahan Blue Paper 15 ini, di antaranya tidak adanya mekanisme global untuk mengakses kepatuhan negara terhadap hukum internasional yang diakui, kesenjangan antara kebijakan dengan penanganan perkara IUUF, dan rendahnya kesadaran dan perhatian terhadap upaya melawan IUUF yang dilakukan oleh artisanal fishing dan penangkapan dengan skala kecil.

Oleh karena itu, saat berlangsungnya HLP ini, Sjarief merekomendasikan agar negara bendera (flag state) memberlakukan kebijakan pendaftaran tertutup, melakukan uji tuntas bagi pemegang izin baru, validasi digital sertifikat tangkap oleh negara bendera, dan memastikan kerangka hukum yang kuat.

 

Di samping itu, negara pantai (coastal state) diminta untuk memperkuat penegakan hukum, meningkatkan kerja sama internasional, dan membentuk pengaturan pengelolaan perikanan domestik.

“Negara pelabuhan (port state) juga harus memastikan negara melaksanakan Port State Measure Agreement (PSMA) yang telah ditentukan. Negara pasar (market state) juga dukung upaya pemberantasan IUUF dengan penerapan skema digital untuk mendokumentasikan hasil tangkapan secara global,” papar Sjarief.

Sementara itu, pada Blue Paper 16, Indonesia membahas kejahatan yang terjadi lintas perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau jaringan yang bekerja di lebih dari satu negara untuk merencanakan dan melaksanakan bisnis ilegal.

 

Koordinator Satgas 115, Mas Achmad Santosa selaku Co-Lead Author Blue Paper 16 mengatakan, kejahatan perikanan berkembang menjadi kejahatan transnasional yang sangat serius dan terorganisir. Banyak pihak yang melakukan kejahatan pencurian ikan terlibat dalam aktivitas kejahatan transnasional terorganisir lain, seperti pencucian uang, suap, penyelundupan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perpajakan, penyelundupan barang, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan kerja sama internasional untuk memeranginya.

“Indonesia telah berpengalaman menangani kasus-kasus lintasi negara, misalnya kasus FV Viking, Silver Sea 2, STS-50, Sunrise Glory, dan MV NIKA. Tantangan terbesar untuk membongkar jaringan kapal ilegal adalah menemukan pemilik manfaat (beneficial owner) karena kompleksitas operasi yang dilakukan. Minimnya kesepahaman mengenai TOFC dan kurangnya kerangka hukum nasional dalam menjerat pelaku sampai ke luar yurisdiksi negara masih menjadi hambatan,” jelas pria yang akrab disapa Otta tersebut.

Untuk itu, selain mengembangkan pemahaman umum mengenai TOFC pada industri perikanan, negara-negara di seluruh dunia juga diminta untuk memperkuat kemauan politik (political will) untuk melawan TOFC.

“Setiap negara dapat menyusun peraturan perundang-undangan nasional yang efektif dan membentuk lembaga penegakan hukum yang efektif. Saya pikir juga penting untuk menjalin kerja sama internasional yang efektif dengan INTERPOL dan lembaga relevan lainnya, misalnya UNODC dan IOM,” lanjut Otta.

 

Adapun Marie selaku Co-chair of the High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy Expert Group menyebut adanya urgensi untuk melakukan tindakan yang cepat dalam upaya menyelamatkan laut. Dalam paparannya, Marie menyampaikan bahwa laut harus dapat terus berproduksi secara berkelanjutan untuk kesejahteraan negara dan rakyat. Namun hal ini harus diimbangi dengan upaya perlindungan ekosistem laut.

“Kita harus bisa memberikan solusi yang berani namun bersifat pragmatis, cost-effective, dan secara politis dimungkinkan (politically enforceable) dalam Blue Paper 15 dan Blue Paper 16 ini,” tuturnya.

Sebelumnya, saat membuka secara resmi HLP ini, Senin (22/7), Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiiastuti mengatakan, dalam rangka pemberantasan IUUF, Indonesia terus mengajak negara-negara di dunia untuk membuka data Vessel Monitoring System (VMS) sebagai bentuk transparansi kegiatan perikanan. Selain itu, Indonesia juga terus berupaya menjaring komitmen negara lainnya untuk mengakui IUUF sebagai transnational organized crime.

 

Menurutnya, saat ini telah ada 6 negara yang membuka data VMS ke publik. Selain itu, 16 negara telah mengakui IUUF sebagai transnational organized crime. Namun untuk menjadikannya sebagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia butuh dukungan minimal dari 70 negara.

“Untuk menjadi resolusi PBB, kita perlu (dukungan) minimalnya 70 negara. Jadi masih PR besar tapi tidak boleh pesimis. Juanda saja bisa menggolkan negara kepulauan. Bayangkan kalau tidak ada Juanda, seluruh dunia itu lautnya seperti apa, cuma 3 mil semuanya. Karena juanda, kita punya 200 nm. Jadi saya pikir tidak boleh pesimis, ya kita harus terus berusaha. Dan illegal fishing di mana pun ya harus dibasmi, baik di luar negeri maupun di dalam negeri,” tegas Menteri Susi.

“Sekarang kita bangga dengan biomass dan banyaknya ikan di negeri kita, tapi kalau di luar negerinya kurang dijaga, nanti juga akan berpengaruh kembali kepada kita, efek domino juga. Jadi penting untuk menggalang komitmen bersama dan juga aksi bersama. Kita akan galang together commitment dan together action,” lanjutnya.

 

Tak hanya pemberantasan IUUF, Menteri Susi menyebut Indonesia juga memperjuangkan hak laut (ocean rights). Menurutnya, laut yang meliputi 71 persen planet bumi perlu diberikan perlindungan agar tetap lestari.

“Dengan melarang transshipment di tengah laut, kapal collecting (pengumpul) internasional tidak masuk lagi. Sekarang yang terjadi bukannya (ikan hasil tangkapan dibawa) kapal angkut dalam negeri, tapi kapal ikan dalam negeri lari ke luar, (ikannya) dijual di high seas (laut lepas). Makanya kita perlu ocean rights supaya high seas punya proteksi, punya perlindungan. Sekarang ini kejahatan dilakukannya di high seas semua,” tandasnya.

Prodia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, PUPR RI, Kemenkes RI, KKP RI, Kemendikbud RI, Inspirational Video, Motivational Video, 

Related posts

Leave a Reply