Jakarta, 13 Agustus 2018 – Menyongsong perhelatan olah raga internasional Asian Games 2018, Danone-AQUA, sebagai sponsor resmi hidrasi Asian Games 2018, berkesempatan untuk berpartisipasi di dalam Pawai Obor Asian Games 2018 di lima kota: Yogyakarta, Bali, Palembang, Bogor dan Jakarta. Kesempatan ini digunakan oleh Danone-AQUA untuk menghadirkan dua mantan atlet yang mengabdikan diri untuk memajukan olahraga yang digelutinya, mewakilli Danone-AQUA sebagai Pembawa Obor (Torch Bearer) di Bali dan Palembang. Hal ini merupakan salah satu perwujudan #KONTINGENKEBAIKAN dalam rangka Asian Games 2018 yang dilakukan Danone-AQUA untuk mengapresiasi orang-orang yang dianggap berjasa bagi para atlet.
Seperti yang telah dicanangkan dalam peluncuran #KontingenKebaikan pada bulan Juli lalu, Danone-AQUA hadir tidak saja sebagai sponsor resmi hidrasi, namun juga menjadi sponsor resmi kebaikan Asian Games 2018. Menurut Jeffri Ricardo, Marketing Manager Danone-AQUA, sebagai sponsor resmi kebaikan, Danone-AQUA mengajak masyarakat Indonesia untuk mengharumkan nama bangsa melalui aksi kebaikan dan menjadi tuan rumah yang baik untuk Asian Games 2018 ini. “Gotong royong, tolong menolong, ramah tamah dan tenggang rasa merupakan nilai-nilai warisan bangsa Indonesia yang harus ditebarkan selama Asian Games 2018 ini. Melalui #KontingenKebaikan, kami memberikan inspirasi dan makna kebaikan bagi seluruh masyarakat, mulai dari kegiatan Pawai Obor hingga Asian Games 2018 selesai berlangsung.”
Danone-AQUA telah mendaulat dua putra daerah di Bali dan Palembang untuk mewakili perusahaan menjadi pembawa obor dalam Pawai Obor Asian Games 2018, dan mengangkat profil mereka sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya dan pengabdian mereka di bidang olahraga yang ditekuni:
Daudy Bahari, Tinju, Bali
Petinju Daudy Bahari (34) menjadi pilihan Danone-AQUA untuk membawa obor Asian Games 2018 di Bali. Setelah melalui masa emasnya sebagai petinju profesional, bagi Daudy tinju tak hanya akan berhenti sampai di situ. Sebelas tahun sebagai petinju profesional, Daudy telah mengukir sederet panjang prestasi dengan rekor 44 kali menang (16 KO), sekali seri, dan 4 kali kalah (2 KO), dari 49 kali pertarungannya. Daudy adalah pemegang juara PABA (Asia-Pacific) welter junior sejak tahun 2003 hinga 2007. Ia juga juara WBO Asia tahun 2008-2009.
Deretan panjang ini yang membuat Daudy tak ingin meninggalkan dunia tinju. Sang ayah, almarhum Daniel Bahari, telah menurunkan banyak arti kehidupan lewat bertinju pada anak-anaknya. Mereka tahu betul apa itu arti sebuah kecintaan, kebaikan, totalitas, pengorbanan, dan masa depan.
Daudy, anak keenam Daniel Bahari, beserta kakak-kakaknya: Pino dan Nemo kini melanjutkan sasana Cakti Bali yang telah dirintis oleh sang ayah. Nama sasana ini kemudian diabadikan Pemda Denpasar sebagai sebagai nama jalan di dekat kediaman Keluarga Bahari di Denpasar atas dedikasi Daniel untuk memajukan olahraga tinju.
Sepeninggal Daniel, sasana tersebut dikelola oleh ketiga putranya, dan Nemo-lah yang kemudian berinisiatif mengganti nama sasana tersebut. Sasana itu kini bernama Sasana Cakti Gibbor, kata Gibbor berarti Malaikat Perang.
“Nemo kini menjadi pendeta, kata Gibbor itu diambil dari Alkitab. Ini salah satu bentuk pengabdian kami untuk tinju,” kata Daudy sebelum mengikuti Pawai Obor di Bali, beberapa pekan lalu.
Lokasi sasana tersebut kini dipindah ke daerah tanah perbukitan di Denpasar. Persis di atas sasana, berdiri gereja tempat jemaat Nemo berkumpul dan melakukan kebaktian. Sebuah sasana berada di bawah gereja, sungguh memberi aura damai dan iklim kebaikan bagi para petinju yang berlatih di sasana tersebut.
Tinju adalah olahraga yang membutuhkan fisik dan emosi untuk mematikan musuh lewat adu jotos. Daudy dan kakak-kakaknya merangkul anak-anak jalanan yang sehari-harinya gemar berkelahi, Dan mengubah energi tersebut ke arah yang lebih positif. Mereka menjadikan bertinju sebagai olahraga berkelahi yang penuh ketulusan dan persahabatan, seperti yang terpancar dari wajah Daudy yang penuh senyum, bersahabat, dan bersih.
Daudy dibesarkan oleh seorang ayah yang mencintai dua hal sekaligus dalam hidupnya: anak dan tinju. Lewat ramuan dua rasa cinta itu, Daudy digembleng menjadi seorang petinju yang langsung melangkah ke profesional, dan memilih dicoret dari pelatnas amatir karena sebuah alasan sang ayah, demi kebaikan Daudy. “Saya tahu bagaimana pengorbanan ayah. Beliau itu kehilangan banyak hal untuk tinju. Bukan hanya soal materi. Tapi beliau sudah merasakan rasa sakit yang paling dalam sebagai seorang ayah, karena tinju. Namun itu semua tak melunturkan rasa cintanya pada tinju,” kata Daudy, yang baginya tak ada sosok lain yang bisa menandingi ayahnya sebagai patron. Ia dan kakak-kakaknya mempunyai tanggungjawab untuk melanjutkan cita-cita ayahnya.
Karenanya, Sasana Cakti Gibbor membuka pintunya bagi anak-anak yang ingin menjadi petinju tanpa membayar. Seperti halnya sang ayah, Daudy melakukan penelusuran ke daerah-daerah untuk mencari anak2 tak mampu tapi berbakat tinju, lalu membinanya dengan biaya sendiri hingga menjadi juara. “Saya ingin melahirkan petinju-petinju yang bisa mengharumkan nama Indonesia di kiprah internasional. Dan prestasi tinju Indonesia bisa kembali berjaya.”
Diakui oleh Daudy, hidup hanya dengan bertinju tak akan bisa mencukupi biaya hidup keluarga kecil mereka. Oleh karena itu, selain mempunyai program bakti untuk melahirkan petinju-petinju berkualitas, sasananya juga menerima para ekspatriat yang ingin berlatih tinju untuk kebugaran, termasuk pengenalan olahraga tinju ke anak-anak. “Untuk self defense aja,” kata Daudy.
Kekaguman Daudy pada Mohammad Ali diekspresikan dengan memberikan nama panggilan ‘Clay’ kepada putri cantiknya yang berusia 6 tahun, seperti nama kecil petinju legendaris tersebut.
Deni Syahputra, Gulat, Palembang
Danone-AQUA memilih Deni Syahputra (36) untuk membawa obor di Palembang, atas dedikasinya dalam memajukan olahraga gulat di kota ini. “Saya memang dulunya senang bela diri karena itu saya belajar taekwondo, tapi untuk menjadi atlet taekwondo saya kesulitan karena badan saya kelewat besar,” tutur Deni menceritakan awal mulanya kenapa ia terjun ke gulat dan mencintainya hingga sekarang. Ketika usia SMP berat badan Deni sudah 70 kilogram, padahal tingginya hanya 160cm, maka ayahnya memasukkannya ke gulat.
Lewat gulatlah ia bisa pindah ke Palembang sebagai pelatih kepala di sana setelah berhasil meraih medali perunggu gaya bebas di PON 2004 mewakili Bengkulu. Tantangan sebagai pelatih di Sumsel langsung diterimanya, walau ketika itu ia belum lagi berusia 30 tahun. Ditargetkan untuk bisa meloloskan atlet Sumsel ke PON 2012 di Riau, Deni mulai mencari bibit-bibit pegulat ke daerah-daerah untuk dibawa ke Palembang. Apalagi Pemda Sumsel memiliki program Sekolah Khusus Olahraga (SKO) yang menampung anak-anak yang dibina dan sekaligus bersekolah dengan gratis, termasuk menanggung tempat tinggal dan makan.
“Mencari bibit untuk menjadi pegulat ini tidak mudah. Sedikit sekali yang berminat. Kalau ambil dari anak-anak tak mampu, baru sebulan atau dua bulan dibawa ke SKO Palembang mereka sudah mengeluh, kok nggak dapet uang. ‘Kalau saya bekerja sebulan saja di desa, saya sudah dapat uang,’ rata-rata mereka bilang begitu, ” kata Deni prihatin. Ia kemudian menaikkan target bibit ke anak-anak tingkat sosial menengah ke atas, supaya tak melulu berorientasi pada uang dan bisa lebih mudah memberi pemahaman tentang sebuah proses. Tetapi, seperti pengakuannya, menaikkan tingkat sosial target bibit ini malah semakin sulit, karena banyak yang tidak mau menjadi pegulat.
Deni adalah sosok pejuang untuk olahraga yang kurang diminati masyarakat di Indonesia. Ia terus bertahan di sana, dan terus berupaya untuk membuat orang menyukai gulat. Sebagai pelatih ia juga adalah ‘bapak pejuang’ agar supaya atlet-atletnya tetap mau bertahan menggeluti gulat.
“Pelatih itu melakukan apa saja untuk atlet. Saya adalah pengganti orangtua mereka, pembantu mereka, dan juga pelatih yang harus bisa jadi panutan untuk mereka. Sehingga saya harus memberi contoh yang baik untuk mereka,” ujar Deni.
Deni sudah terlanjur mencintai gulat. Menjadi pejuang yang terus berkorban. Namun semua pengorbanannya itu, tak ada apa-apanya dibanding kepuasannya ketika ia berhasil membawa anak didiknya masuk Timnas dan ikut berlaga di Asian Games 2018 nanti.
Menyebarkan kebaikan bisa dengan berbagai cara, termasuk hal-hal yang dilakukan sehari-hari. Inilah yang dilakukan oleh Daudy Bahari dan Deni Syahputra.
Jeffri Ricardo mengatakan bahwa Danone-AQUA sangat mengapresiasi orang-orang seperty Daudy dan Deni, yang membantu kesuksesan atlet dari balik layar, dengan memberikan Medali Kebaikan. “Dedikasi dan kerja keras mereka mencerminkan tindakan kebaikan mereka, tidak saja bagi prestasi para atletnya namun juga kelangsungan olahraga yang digeluti. Dengan mengangkat kisah mereka, Danone-AQUA berharap dapat menginspirasi dan menularkan tindakan kebaikan.”