JAKARTA, 10 November, 2021 – Saat ini banyak orang khususnya karyawan beralih ke robot untuk mendukung pengembangan karir mereka, pandemi COVID-19 membuat orang merasa kesepian dan terputus dari kehidupan mereka sendiri, menurut sebuah studi baru oleh Oracle dan Workplace Intelligence, sebuah penelitian dan penasihat SDM perusahaan.
Studi terhadap lebih dari 14.600 karyawan, manajer, pemimpin SDM, dan eksekutif “C level” di 13 negara menemukan bahwa orang-orang di seluruh dunia merasa “stuck” dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka, dan menginginkan untuk dapat kembali bisa mengontrol masa depan mereka. Lebih dari 6.000 responden mengikuti studi global ini dari negara-negara Asia-Pasifik termasuk Australia, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura.
Tenaga kerja Asia-Pasifik merasa kesepian, terputus dan lepas kendali Lebih dari setahun dunia ini berada dalam masa ‘lockdown’ dan ketidakpastian yang berkelanjutan akibat pandemi, sehingga membuat banyak pekerja dalam gejolak emosional, merasa seperti hidup dan karier di luar kendali mereka sendiri, namun diketahui bahwa telah banyak perusahaan yang mulai memperhatikan dan mengambil langkah-langkah untuk dapat melindungi kesehatan mental karyawan mereka.·
80 persen orang merasa terkena dampak negatif dari tahun lalu, banyak yang kesulitan dari sisi finansial (31 persen); menderita penurunan kesehatan mental (29 persen); motivasi karir kurang (25 persen); merasa lebih kesepian (25 persen); dan merasa terputus dari kehidupan mereka sendiri (22 persen).·
63 persen menganggap tahun 2021 sebagai tahun paling stres di tempat kerja. Lebih dari setengah (55 persen) orang merasa berjuang dengan kesehatan mental di tempat kerja lebih banyak pada tahun 2021 daripada pada tahun 2020·
Jumlah orang yang merasa berkurang atau tidak memiliki kontrol atas kehidupan pribadi dan profesional mereka meningkat setengahnya sejak awal pandemi. Orang-orang merasa bahwa mereka telah kehilangan kontrol terutama atas kehidupan pribadi mereka (47 persen); masa depannya (46 persen); dan keuangan (45 persen)·
77 persen orang merasa terjebak dalam kehidupan pribadi mereka, merasa cemas tentang masa depan mereka (32 persen); terjebak dalam rutinitas yang sama (27 persen); dan menderita secara finansial (25 persen).·
Namun, pada sisi positifnya, mayoritas (78 persen) juga merasa bahwa perusahaan mereka sekarang lebih peduli untuk melindungi kesehatan mental mereka daripada sebelum pandemi. Orang-orang termotivasi untuk melakukan perubahan, tetapi menghadapi tantangan besar Terlepas dari kesulitan yang dihadapi selama setahun terakhir, orang-orang di Asia-Pasifik sangat ingin membuat perubahan dalam kehidupan profesional mereka.·
93 persen orang menggunakan tahun lalu untuk merenungkan kehidupan mereka dan 90 persen mengatakan arti kesuksesan telah berubah bagi mereka sejak pandemi, dengan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kerja (43 persen); kesehatan mental (38 persen); dan fleksibilitas tempat kerja (34 persen) sekarang menjadi prioritas utama.·
78 persen merasa terjebak secara profesional, karena mereka tidak memiliki peluang pertumbuhan untuk memajukan karier mereka (27 persen) dan terlalu terbebani untuk melakukan perubahan (23 persen).· 72 persen orang mengatakan bahwa merasa terjebak dalam karier telah berdampak negatif pada kehidupan pribadi mereka juga, dengan menambah stres dan kecemasan ekstra (42 persen); berkontribusi pada perasaan terjebak secara pribadi (31 persen); dan mengalihkan fokus dari kehidupan pribadi mereka (28 persen).·
84 persen orang siap untuk melakukan perubahan karier, tetapi 79 persen mengatakan bahwa mereka menghadapi hambatan besar. Hambatan terbesar termasuk ketidakstabilan keuangan (24 persen); tidak mengetahui perubahan karir apa yang cocok bagi mereka (23 persen); tidak merasa cukup percaya diri untuk melakukan perubahan (22 persen); dan tidak melihat peluang pertumbuhan di perusahaan mereka (22 persen).·
Memasuki tahun 2022, pengembangan profesional menjadi prioritas utama, dengan banyak orang yang rela melepaskan manfaat utama seperti pengaturan kerja yang fleksibel (60 persen); waktu liburan (55 persen); dan bahkan bonus uang (52 persen) atau sebagian dari gaji mereka (48 persen) untuk peluang karir yang lebih banyak.·
Namun, 86 persen tenaga kerja di Asia-Pasifik tidak puas dengan dukungan perusahaan mereka. Mereka mencari organisasi untuk memberikan lebih banyak pembelajaran dan pengembangan keterampilan (38 persen); peluang untuk peran baru dalam perusahaan mereka (32 persen); dan lebih banyak fleksibilitas dalam tempat kerja (32 persen). Karyawan di Asia Pasifik haus akan keterampilan baru dan beralih ke teknologi untuk mendapatkan bantuan Untuk mempertahankan dan menumbuhkan talenta terbaik di tengah perubahan dinamika tempat kerja, perusahaan perlu lebih memperhatikan kebutuhan karyawan dari sebelumnya dan memanfaatkan teknologi untuk memberikan dukungan yang lebih baik.·
89 persen orang ingin teknologi untuk membantu menentukan masa depan mereka dengan merekomendasikan cara untuk mempelajari keterampilan baru (40 persen); mengidentifikasi keterampilan yang perlu mereka kembangkan (39 persen); dan dapat memberikan saran atas langkah selanjutnya untuk maju menuju tujuan karir mereka(37 persen).·
82 persen orang akan membuat perubahan hidup berdasarkan rekomendasi robot atau teknologi.· 88 persen percaya robot dan teknologi dapat mendukung karir mereka lebih baik daripada manusia karna dapat memberikan rekomendasi yang tidak bias (41 persen); memberikan sumber daya yang disesuaikan dengan keterampilan atau tujuan mereka saat ini (38 persen); atau menjawab pertanyaan tentang karir mereka dengan cepat (37 persen).·
Banyak orang percaya bahwa manusia masih memiliki peran penting dalam pengembangan karir dan percaya bahwa manusia lebih baik dalam memberikan dukungan dengan menawarkan nasihat berdasarkan pengalaman pribadi (45 persen); mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (43 persen); dan mencari di luar resume kerja untuk merekomendasikan peran yang sesuai dengan kepribadian (39 persen).·
91 persen orang percaya bahwa perusahaan mereka harus berbuat lebih banyak untuk mendengarkan kebutuhan mereka dan 61 persen lebih mungkin bertahan di perusahaan yang menggunakan teknologi canggih seperti AI untuk mendukung pertumbuhan karier. “Satu setengah tahun terakhir ini bagi banyak orang telah mengubah cara mereka bekerja, termasuk di mana kita bekerja dan untuk siapa kita bekerja. Meskipun ada banyak tantangan bagi karyawan dan pemberi kerja, ini merupakan peluang untuk mengubah tempat kerja menjadi lebih baik,” kata Dan Schawbel, mitra pengelola, Workplace Intelligence. “Hasilnya dengan jelas menunjukkan bahwa investasi dalam pengembangan keterampilan dan karir sekarang menjadi pembeda utama bagi perusahaan karena memainkan peran penting dalam kenyamanan karyawan seperti mereka memiliki kendali atas kehidupan pribadi dan profesional mereka. Perusahaan yang berinvestasi pada karyawan mereka dan membantu mereka menemukan peluang akan menuai manfaat dari tenaga kerja yang lebih aktif dan produktif.”
“Sejak pandemi satu setengah tahun yang lalu, pola dan model lingkungan kerja di Indonesia dan negara lainnya mengalami perubahan yang drastis baik dalam cara kita bekerja, dimana kita bekerja dan untuk siapa kita bekerja. Akibatnya, banyak para karyawan meng-evaluasi kembali apa arti dari kesuksessan bagi diri mereka sendiri, dan berusaha untuk mendapatkan kembali tali kendali agar bisa mengkontrol baik kehidupan pribadi maupun karier pekerjaan mereka,” kata Iman Muhammad, Head of Applications, Oracle Indonesia.
“Untungnya, saat ini ada teknologi yang dapat membantu untuk memandu karyawan di perusahaan dan mereka yang ingin maju, harus siap untuk menerimanya. Bagi pelaku bisnis di Indonesia, studi ini merupakan ‘call to action” yang sangat jelas. Dengan memanfaatkan teknlogi yang tepat seperti AI untuk SDM, akan membantu karyawan dalam mempelajari keterampilan baru untuk kemajuan karier karyawan tersebut, dan juga memungkinkan mereka untuk dapat sukses di lingkungan kerja masa depan,” tambah Iman.
“Kecemasan dan tingkat stres orang meningkat saat mereka menemukan dan beradaptasi dengan perubahan yang tidak diketahui. Kerja jarak jauh dan interaksi fisik yang terbatas semakin membatasi pemahaman dan berbagi informasi, menghasilkan keterlibatan, kolaborasi, dan kepercayaan yang lebih rendah,” kata Peter Leow, Direktur Sumber Daya Manusia, The Salvation Army International. “Robot dan AI dapat membantu menjembatani beberapa kesenjangan ini untuk menghubungkan dan memperkuat minat dan hubungan antar sesama, meningkatkan budaya kerja melalui berbagi informasi dengan efektif. Ini memungkinkan pemberdayaan, eksplorasi, dan eksperimen dalam lingkungan yang aman dan terkendali dengan transparansi dan konsistensi untuk meningkatkan kreativitas, efisiensi dan efektivitas!”