Jakarta, 06 Januari 2018 – Kasus sodomi di tanah air terjadi lagi. Mirisnya, sodomi dilakukan oleh WS alias “Babeh” seorang guru honorer Madrasah di Tangerang, Banten. Berdasarkan keterangan Polresta Tangerang, korban sodomi berusia 7 – 15 dan semula berjumlah 25 orang, hingga kini yang terlapor bertambah menjadi 41 orang. Saat ini, para korban yang disodomi tersangka telah mendapatkan pemulihan trauma dan pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Sebelumnya, kasus ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan anak – anak terhadap tersangka yang memiliki ajian atau kekuatan dan bisa mengobati orang sakit. Tersangka pun bersedia memberikan ajian tersebut dengan syarat anak – anak rela disodomi olehnya. Kesediaan anak – anak untuk disodomi tak terlepas dari iming-iming ketakutan yang ditanamkan tersangka kepada mereka.
Menanggapi kasus tersebut, Menteri PPPA, Yohana Yembise meminta dengan tegas agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang setimpal bagi tersangka dan menghimbau agar orang tua mampu meningkatkan kepercayaan diri anak – anaknya dan mengawasi perubahan anak, serta menghimbau agar pihak sekolah lebih selektif memilih pengajar. “Kami kecewa terhadap kasus sodomi yang dilakukan seorang guru terhadap anak – anak. Saya meminta agar aparat penegak hukum memberikan hukuman yang berat sesuai tindakan tersangka. Saya pun mengimbau agar para orang tua lebih peka terhadap perubahan pada anak. Selain itu, orang tua juga harus mampu meningkatkan kepercayaan diri pada anak tanpa bantuan orang pintar atau oknum – oknum yang bisa menjanjikan prestasi atau kemampuan diri,” tegas Menteri Yohana.
Menteri Yohana juga meminta agar tetap dilakukan trauma healing terhadap para korban dan menghimbau agar pihak sekolah atau madrasah lebih selektif memilih pengajar yang seharusnya menjadi pengganti orang tua di lingkungan pendidikan.
Apa yang telah dilakukan oleh pelaku telah mengarah pada pelanggaran Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dimana Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Jika tersangka terbukti bersalah, maka tersangka akan dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana. Selain itu dalam pasal 82 juga disebutkan, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas, rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.