JAKARTA – Dampak penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap lingkungan kian jadi perhatian masyarakat. Bahkan, empat bulan terakhir, ada kecenderungan penurunan dalam penggunaan BBM berkualitas rendah.
Penurunan tersebut paling kuat dipengaruhi oleh peralihan BBM jenis pertalite dari penggunaan jenis premium. Gejala ini perlu diapresiasi mengingat sejalan dengan komitmen Pemerintah dalam menjaga perubahan iklim.
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, realisasi penggunaan premium turun hampir 50% di wilayah Jawa, Madura dan Bali. Tercatat, premium di Jamali terserap sebesar 1.037.161.08 kilo liter (kl) pada triwulan pertama tahun 2018.
Bila dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, realisasi premium di wilayah tersebut sanggup mencapai lebih dari 2 juta kl. Kondisi serupa juga terjadi di luar Jamali. Pada triwulan I 2018, masyarakat hanya membutuhkan 1,9 juta kl atau turun sekitar 29% dibanding periode sebelumnya, sebesar 2,6 kl.
Kepala BPH Migas Fansurullah Asa menargetkan hingga akhir bulan April konsumsi premium non jamali bisa mengalami penurunan kembali. “Untuk sampai akhir April bisa 15% ,” jelas Fansurullah dalam keterangan pers di Gedung BPH Migas Jakarta, Rabu (16/5).
Akibat perilaku tersebut, badan usaha pun secara bertahap mengubah sarana dan fasilitas (sarfas) premium menjadi pertalite. Salah satu pertimbangan sarfas, tambah Fansurullah, adalah penyaluran premium sebagai subsidi BBM hanya ditujukkan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
“Ada komitmen Pertamina betul-betul mewujudkan premium disalurkan kepada yang berhak. Kita apresiasi Pertamina menjaga apa yang sudah diharapkan Pemerintah,” tegasnya.
Terlebih, perubahan sarfas bagi badan usaha berdampak pada segi finansial perusahaan. Mereka beranggapan pertalite dinilai memiliki margin yang lebih baik dibandingkan premium.
Perluasan Premium
Meski pola perilaku konsumen BBM mengalami perubahan, Pemerintah tetap menjamin ketersediaan BBM jenis premium. Bahkan, Pemerintah akan memperluas Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) tersebut ke wilayah Jamali.
Pemerintah segera menyelesaikan regulasi baru sebagai dasar payung hukum baru dalam menjalankan tugas tersebut. “Sedang disusun revisi Perpres 191/2014. Kesepakatan yang dilakukan oleh Menteri ESDM, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN dalam waktu singkat akan ditandatangani,” ungkap Fansurullah.
Jika regulasi tersebut rampung, BPH Migas akan segera bekoordinasi dengan Pertamina untuk membahas jumlah kouta subsidi premium. Data existing 2017, imbuh Fansurullah, akan dijadikan patokan dengan melihat indikator pertumbuhan ekonomi, laju jumlah kendaraan hingga potensi migrasi konsumsi dari pertalite ke premium.
Fansurullah menilai peraturan baru diterbitkan sebagai keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat atas kebutuhan BBM jenis premium. “Ini masalah keadilan bagi masyarakat kecil,” tegasnya. Ia pun menyatakan komitmen Pertamina menjalankan penugasan JBKP secara bertahap di Jamali.
Rencananya, Pemerintah akan menambah volume kuota premium sebesar 5 juta kiloliter (kl) dari sebelumnya ditetapkan sebesar 7,5 juta kl sehingga totalnya menjadi 12,5 juta kl. Jumlah tersebut akan mencakup kebutuhan premium di wilayah Jamali.
Untuk memastikan keakuratan subsidi premium hingga sampai titik serah. Pemerintah juga akan melakukan digitalisasi pada ujung nozzle. “Pemasangan sistem informasi akan lebih akurat. Kita konsen agar subsidi ini tepat sasaran. Tidak mengalami kecurangan,” ujar Nicke.
Nicke mengemukakan selama ini Pertamina proses pengecekan data dilakukan dengan metode random check. “Jadi sekitar 7.000 SPBU hanya 200-400 SPBU. Jadi, akurasi volume didistribusikannya BBM kurang akurat,” keluh Nicke.
Pertamina segera melakukan pemetaan (mapping) SPBU mana yang siap menggunakan digitalisasi tersebut. “Kita harapkan 2018 sudah ada yang diterapkan,” pungkasnya.