Menggali Data, Membuka Peluang Surga Berbisnis EBT di Indonesia

JAKARTA – Berbalut batik lengan panjang, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tampak berdiri gagah di hadapan para stakeholder Energi Baru Terbarukan (EBT). Semangat paginya begitu membara kala menceritakan keuntungan menjalankan bisnis EBT di Indonesia pada Selasa (24/4).

Pemerintah memasang banyak cara kreatif dalam menarik minat berbisnis EBT. Namun sebelum melangkah, Arcandra mewanti-wanti penggunaan data sebagai pijakan berbisnis. “Para pelaku, mulai saat ini mohon kiranya harus hati-hati. Data ini akan dipakai dimana-dimana, kita harus hati-hati dengan itu,” tandasnya menyambut para pebisnis EBT saat membuka Workshop Peluang Investasi EBT di Hotel Aryaduta, Jakarta.

Arcandra mengemukakan, kerap kali masyarakat salah persepsi dalam memaknai pemberitaan terkait perbedaan potensi (resource) dan cadangan (reserve). Padahal, cadangan yang bisa dimanfaatkan berbisnis dalam EBT adalah proven developed reserve. Sementera, terkait potensi masih lebih jauh memerlukan kajian lanjutan.

Panas bumi, misalnya. Selama ini, imbuh Arcandra, data panas bumi di Indonesia yang beredar luas menyentuh total sebesar 29 GW. Faktanya, data itu hanya kisaran potensi. Kesalahan data justru tidak memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat. “(Katanya) cadangan geothermal itu sekitar 29 GW, tapi itu bukan. Itu tidak mengedukasi. Reservedengan resource itu beda,” singgungnya.

Dengan senyum ramah, Arcandra memohon para pebisnis EBT menggali lebih jauh subsektor ini selain panas bumi maupun sampah. Konversi energi termal lautan atau Ocean Thermal Energy Convertion (OTEC) bisa digali lebih dalam untuk dijadikan lahan bisnis EBT. “Indonesia adalah salah satu punya potensi OTEC yang besar dan terbaik,” ucapnya memberi solusi.

Teknologi juga urusan lain yang patut dicermati selain data. Arcandra mengupas tuntas bagaimana peran teknologi dalam mengembangkan bisnis EBT yang bergantung pada kearifan lokal (local wisdom). “Teknologi apa yang terbaik yang bisa diaplikasikan sehingga hasilnya efisien dan efektif,” jelas Arcandra. Kajian teknologi itu yang bagi Arcandra tidak bisa diselesaikan dalam tempo singkat.

Tak salah jika Arcandra mengomparasikan kondisi Eropa atau Amerika dengan Indonesia yang mempertimbangkan kemajuan teknologi dan kearifan lokal menjadi dasar pembangunan bisnis EBT di kemudian hari. “Kenapa Eropa dengan wind (angin)? Karena di mana-mana lebih banyak wind dan kecepatan anginnya kuat,” kata Arcandra yang sudah berpengalaman melintang hidup di Amerika Serikat.

Sementara di Amerika Serikat, seperti National Renewable Energy Laboratory di Colorado, setiap tahun mengeluarkan anggaran jutaan dolar hanya demi mencari jenis energi terbaik yang akan diaplikasikan. Hal ini bertolak belakang dengan pengembangan EBT di Indonesia yang lebih mengedepankan sisi komersial terlebih dahulu.

Apabila data dan teknologi sudah bisa disiapkan dengan matang, maka berbisnis EBT di Indonesia bukan sesuatu hal yang menakutkan lagi bagi investor. Dan bakal terus menarik minat mereka dalam menanamkan modalnya dengan dibarengi kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Langkah ini telah diantisipasi oleh Pemerintah dengan pelatihan SDM melalui sistem Badan Layanan Umum di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia ESDM. “Pemerintah memfasilitasi biar gak ketinggalan,” saran Arcandra

Related posts

Leave a Reply