Kementerian Perindustrian terus mendorong peningkatan produksi aluminium nasional, dengan menargetkan sebanyak 1,5-2 juta ton pada tahun 2025. Untuk itu, diperlukan kebijakan strategis dari pemerintah agar manufaktur yang sudah ada dapat melakukan ekspansi atau menarik investasi baru.
“Beberapa upaya yang telah kami laksanakan, antara lain fokus menciptakan iklim usaha yang kondusif, menjalankan programhilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah, danmemacu penggunaan produksi dalam negeri,” kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Harjanto di Jakarta, Jumat (23/2).
Pentingnya menggenjot produksi aluminium ini sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam hal ini, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, salah satu PSN yang tengah diakselerasi pengembangannya. Apalagi, Inalum memikul amanah penting dari negara sebagai induk dalam holding BUMN pertambangan.
“Kami mengapresiasi atas selesainya pelaksanakan proyek Inalum pada tahun 2017 yang menghasilkan produk aluminium sebesar 260 ribu ton per tahun,” ujar Harjanto. Total kapasitas tersebut, terdiri dari produksi ingot alloy 90 ribu ton, billet aluminium 30 ribu ton, dan aluminium ingot primer 140 ribu ton per tahun. Sedangkan, kebutuhan aluminium dalam negeri saat ini mencapai 900 ribu ton per tahun.
Beberapa waktu lalu, Harjanto melakukan kunjungan kerja ke Inalum, yang berlokasi di Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batu Bara, Medan, Sumatera Utara. Industri aluminium tertua di Asia Tenggara yang berdiri sejak 1979 ini memiliki tiga pabrik utama dengan luas 200 hektar, meliputi pabrik karbon, pabrik reduksi, dan pabrik penuangan.
“Di sana, kami mengadakan focus group discussion yang mengundang seluruh stakeholders, seperti dari instansi pemerintah serta asosiasi industri terutama industri berbasis aluminium hulu-hilir. Kami ingin bersama-sama membangun industri nasional lebih produktif dan berdaya saing global,” paparnya.
Harjanto menyebutkan, hasil diskusi kelompok tersebut, antara lain mempertemukan antara pemasok dengan pembeli aluminium, kesepakatan dalam penerapan teknologi terkini dan standardisasi, serta upaya peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
“Salah satu strategi menggenjot industri aluminium dalam negeri adalah dengan menerapkan SNI yang belum ada di produk aluminium untuk menahan masuknya produk impor yang tidak sesuai standar. Kami juga akan menyusun database produk yang sudah dibuat di dalam negeri, dan melakukan kontroljumlah yang diimpor secara periodik,” tutur Harjanto.
Dengan penambahan kapasitas produksi Inalum, diharapkan dapat berperan dalam mengurangi imporsehingga menjaga pengeluaran devisa negara. ”Bahkan, seiring meningkatnya nilai tambah, akan berdampak pula pada penciptaan lapangan kerja,” imbuhnya.
Terkait rencana Inalum membangun pabrik aluminium di Kawasan Industri Tanah Kuning, Kalimantan Utara, perusahaan pelat merah tersebut saat ini menunggu kepastian pasokan listrik guna mendukung kegiatan produksinya.
“Industri ini butuh energi yang cukup besar, makanya perlu harga yang kompetitif juga,” kata Harjanto. Adapun, pasokan listrik untuk Kawasan Industri Tanah Kuning, Kaltara rencananya disalurkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sungai Kayan yang akan dibangun.
Sementara itu, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Inalum memproduksi sekitar 250.000-260.000 ton aluminium pada tahun 2017. Rencananya, Inalum ingin meningkatkan produksi menjadi 500.000 ton pada 2021. “Peningkatan kita tahun 2017 lebih dari 25 persen dibanding 2016,” ucapnya.
Secara jangka panjang, Inalum menargetkan total produksi aluminium mencapai dua juta ton per tahun. Hal ini didukung oleh pabrik Smelting Plan di Kuala Tanjung dan pabrik di Kalimantan Utara. Pabrik di Kalimantan Utara tersebut ditargetkan mulai dibangun 2020.
Dalam rencana bisnis Inalum, Kalimantan Utara akan memproduksi aluminum sebanyak satu juta ton per tahun. Saat ini, kebutuhan aluminium diperlukan untuk berbagai sektor, antara lain mendukung industri konstruksi termasuk mendukung transmisi dalam proyek 35 ribu megawatt, otomotif, perkapalan, infrastruktur maupun produk rumah tangga.