Jakarta (30/06) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyayangkan keterlibatan 40 orang anak dalam aksi unjuk rasa penolakan Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) pada 24 Juni 2020 lalu. Pasalnya, anak-anak yang diketahui berasal dari Tangerang dan Kalideres tersebut mendapatkan informasi ajakan unjuk rasa melalui media sosial tanpa mereka tahu siapa koordinatornya. Oleh karenanya, Kemen PPPA mendorong pihak kepolisian untuk menindak tegas kasus ini.
“Anak-anak mendapatkan informasi ajakan unjuk rasa tersebut melalui media sosial, namun mereka tidak tahu siapa yang mengajak atau koordinatornya. Oleh karenanya, kami meminta agar polisi dapat menindak tegas dan menyelidiki pihak yang mengajak anak dan mempergunakan anak untuk melakukan aksi unjuk rasa. Kami juga mengimbau agar orang tua, guru, dan orang dewasa di sekitar anak mengawasi dan mengedukasi anak bahwa saat ini tempat teraman adalah di rumah bersama keluarga, mengingat kondisi masih dalam masa transisi Covid-19 dan kita semua harus patuh pada protokol kesehatan,” tegas Staf Khusus Menteri PPPA Bidang Anak, Ulfah Mawardi.
Kemen PPPA juga mengapresiasi pihak Kepolisian yang telah mengamankan anak-anak yang akan melakukan aksi unjuk rasa tersebut ke halaman Mapolres (Markas Kepolisian Resor) Jakarta Barat. Kemen PPPA berterimakasih karena anak-anak mendapatkan perlakuan yang layak, diberikan makan siang, dan diantar pulang oleh pihak Kepolisian.
Ulfah menjelaskan bahwa mengajak anak ikut terlibat dalam aksi unjuk rasa merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual.
Lebih lanjut, dalam Pasal 76 H Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan setiap orang dilarang merekrut dan memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya, dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa. Berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak setiap orang yang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa akan dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Ulfah juga mengimbau agar para orangtua berperan aktif dalam mengawasi kegiatan anak-anak mereka, karena hal ini penting untuk menghindarkan mereka agar tidak terlibat dalam aksi serupa.
“Kami mengimbau agar para orangtua ikut berperan aktif dalam melindungi, memerhatikan kegiatan anak-anak, dan mengawasi mereka agar tidak terlibat dalam aksi unjuk rasa. Harus ada pengawasan yang ketat dari orangtua terhadap anak agar tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap proses tumbuh kembangnya,” tutup Ulfah.